Jumat, 14 Januari 2011

Teknik Pembenihan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Lele Dumbo
2.1.1 Klasifikasi
Menurut Rukmana (2003), kedudukan ikan lele dumbo dalam sistematika (taksonomi) hewan diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum : Chordota
Kelas : Pisces
Sub kelas : Teleoostei
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Siluroidae
Famili : Claridae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias gariepinus
1.2.2 Morfologi
Menurut Puspowardoyo dan Djarijah (2006), lele dumbo memiliki patil yang tidak tajam dan geriginya tumpul. Sungut lele dumbo relaif lebih panjang dan tampak lebih kuat daripada lele lokal. Kulit badannya terdapat bercak-bercak kelabu seperti jamur kulit manusia (panu). Kepala dan punggungnya berwarna gelap kehitam-hitaman atau kecoklat-coklatan. Lele dumbo memiliki sifat tenang dan tidak mudh berontak saat disentuh atau dipegang. Penampilannya kalem dan tidak banyak bergerak. Lele dumbo suka meloncat bila merasa tidak aman.
Bentuk lele dumbo adalah memanjang dengan bagian depan membulat dan bagian tengah sampai bagian belakang pipih. Kepalanya pipih dan memiliki empat pasang kumis yang memanjang, serta alat pernapasan tambahan (Rukmana, 2003). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari gambar 1 berikut ini :





Gambar 1. Morfologi ikan lele dumbo (Budi, 2009)
1.2.3 Anatomi
Menurut Puspowardoyo dan Djarijah (2006), anatomi lele dumbo mirip dengan lele lokal atau jenis-jenis ikan lele lainnya. Semua jens ikan lele berkembangbiak secara ovipar, yakni pembuahan telur di luar tubuh. Ikan lele memiliki gonada satu pasang dan terletak disekitar usus. Ikan lele memiliki lambung yang relatif besar dan panjang, tetapi ususnya relatif lebih pendek daripada badannya. Hati dan gelembung ikan lele berjumlah 2 (dua) dan masing-masing sepasang. Alat pernapasannya berupa insang dan insang tambahan berupa arborescent organ yang memungkinkan ikan ini mampu mengambil oksigen segar di atas permukan air.
2.1.4 Habitat
Menurut Suyanto (2007), habitat atau lingkungan hidup ikan lele ialah semua perairan tawar. Di sungai yang airnya tidak terlalu deras, atau diperairan yang tenang seperti danau, waduk, telaga, rawa serta genangan-genangan kecil seperti kolam, merupakan lingkungan hidup ikan lele.
Ikan lele memiliki organ insang tambahan yang memungkinkan ikan ini mengambil oksigen pernapasannya dari udara di luar kolam. Karena itu ikan lele tahan hidup di perairan yang airnya mengandung sedikit oksigen. Ikan lele ini relatif tahan terhadap pencemaran bahan-bahan organik.Oleh karena itu ikan lele tahan hidup dicomberan yang airnya kotor. Ikan lele hidup dengan baik di dataran rendah sampai perbukitan yang tidak terlalu tinggi. Apabila suhu tempat hidupnya terlalu dingin, misalnya di bawah 200 C pertumbuhannya agak lambat. Di daerah pegunungan dengan ketinggian di atas 700 m, pertumbuhan ikan lele kurang begitu baik. Lele tidak pernah ditemukan hidup di air payau atau asin (Suyanto, 2007).
2.1.5 Tingkah Laku
Menurut Suyanto (2007), ikan lele adalah ikan yang hidup di air tawar. Ia bersifat nocturnal, artinya ia aktif pada malam hari atau menyukai tempat yang gelap. Pada siang hari yang cerah, ikan lele lebih suka berdiam di dalam lubang-lubang atau tempat yang tenang dan alirannya tidak terlalu deras.
Ikan lele membuat sarang di dalam lubang-lubang di tepian sungai, tepi-tepi rawa atau pematang sawah, kolam yang teduh dan tenang.
2.1.6 Siklus Hidup
Menurut Puspowardoyo dan Djarijah (2006), di peraian alam, lele dumbo biasa biasa berpijah selama musim hujan, tetapi dalam kolam budidaya dapat dipijahkan sepanjang tahun. Dalam kondisi normal, lele dumbo dapat tumbuh mencapai 250 g/ekordan panjang 25 cm selama 100 hari.
Menurut Suyanto (2007), ikan lele mencapai kedewasaannya setelah mencapai ukuran 100 g atau lebih. Jika sudah masanya berkembang biak, ikan jantan dan betina berpasangan. Pasangan itu lalu mencari tempat, yakni tempat yang teduh dan aman untuk bersarang. Lubang sarang ikan lele terdapat kira-kira 20-30 cm di bawah permukaan air. Ikan lele tidak membuat sarang dari suatu bahan (jerami atau rumput-rumputan) seperti ikan gurame, melainkan hanya meletakkan telurnya di atas dasar lubang sarangnya itu.
Pada perkawinannya, induk betina melepaskan telur bersamaan waktunya dengan jantan melepaskan mani (sperma) di dalam air. Terjadilah pembuahan di dalam air.Telur yang dibuahi dijaga oleh induk betina sampai telur menetas dan kuat berenang. Lama penjagaan ini seminggu sampai sepuluh hari. Setelah perkawinan, induk jantan meninggalkan sarang dan tidak menghiraukan anak-anaknya (Suyanto, 2007).
Seekor induk betina dapat menghasilkan 1.000 sampai 4.000 butir telur sekali memijah. Dalam tempo 24 jam setelah perkawinan, telur akan menetas (Suyanto, 2007).
2.1.7 Makanan
Menurut Rukmana (2003), Ikan lele temasuk pemakan segala bahan makanan (omnivora), baik bahan hewani maupun nabati. Dilihat dari jumlahnya, ikan lele dumbo lebih banyak memakan bahan hewani dibandingkan dengan bahan nabati. Anak ikan lele memakan protozoa, rotifera, crustacea yang halus dan fitoplankton. Sementara ikan lele dumbo dewasa memakan cacing dan larva insekta, ikan-ikan kecil, udang, bahan organik, dan jasad-jasad yang telah membusuk.
Menurut Suyanto (2007), makanan alami ikan lele ialah binatang-binatang renik, seperti kutu-kutu air (Daphnia, Cladosera, Copepoda), cacing-cacing, larva (jentik-jentik serangga), siput-siput kecil, dan sebagainya.
2.2 Pemilihan Lokasi
Menurut Soetomo (2000), Dalam pemilihan lokasi untuk usaha beternak ikan lele dumbo adalah pada tanah yang mempunyai nilai tanah (harga) yang masih rendah, sehingga investasi modal yang kita tanam untuk membeli tanah sebagai lahan usaha murah, apalagi dekat dengan jalan besar atau setidak-tidaknya lokasi mudah dijangkau kendaraan, khususnya kendaraan roda empat.
Dekat dengan sumber air yang tidak tercemar oleh bahan kimia, limbah industri, merkuri, air mengandung kadar minyak atau bahan lainnya, yang dapat mematikan ikan (Soetomo, 2000).
Pemakaian air untuk keperluan kolam peternakan ikan lele dumbo tidak boleh mengakibatkan perubahan dan kerusakan sistem irigasi yang sudah ada. Harus tersedia air yang cukup selama melakukan kegiatan usaha beternak ikan lele dumbo. Lokasi ini bukan merupakan tempat yang rawan banjir. Di sekitar lokasi usaha banyak terdapat bahan makanan yang murah dan bermutu, baik makanan alami maupun makanan tambahan, sehingga biaya pemeliharaan menjadi murah (Soetomo, 2000).
2.3 Sarana Pembenihan
Menurut Kordi (2004), sarana pembenihan untuk menunjang usaha pembenihan ikan lele diantaranya yaitu :
1. Kolam pemeliharaan Induk
Kolam pemeliharaan induk berfungsi sebagai kolam khusus yang digunakan untuk memelihara induk. Kolam ini digunakan sebagai tempat membesarkan ikan-ikan yang kemudian dijadikan induk atau memelihara ikan sampai matang gonad dan sebagai tempat induk-induk ikan yang telah selesai dipijahkan. Kolam pemeliharaan induk biasanya disediakan sebanyak 2 buah, satu untuk induk jantan dan satu lagi untuk induk betina. Ukuran kolam tergantung dari kebutuhan maupun lahan yang tersedia. Ukuran kolam yang umum antara 100-400 m2.
2. Kolam Pemijahan
Kolam pemijahan berfungsi untuk mempertemukan (mengawinkan) induk jantan dan betina yang telah matang telur. Bila lokasi yang tersedia tidak mencukupi, maka kolam pemijahan dan kolam pemeliharaan induk cukup satu kolam saja.
3. Kolam Penetasan Telur
Kolam penetasan telur digunakan untuk menetaskan telur-telur yang terbuahi. Selain dilakukan di kolam penetasan khusus, penetasan telur juga dilakukan di tempat lain seperti bak beton, corong, atau di hapa. Penetasan telur juga dilakukan pada kolam pemeliharaan induk dan kolam pemijahan.
4. Kolam Pemeliharaan Larva
Kolam pemeliharaan larva digunakan untuk memelihara larva. Larva yang sudah lepas dari induknya, dapat mencari makan sendiri, tetapi masih lemah dan belum dapat berenang cepat. Kolam yang digunakan dapat berupa kolam tanah, kolam beton ataupun di sawah. Kolam biasanya berukuran antara 100-600 m2.
5. Kolam Pemeliharaan Benih
Kolam pemeliharaan benih digunakan untuk memelihara anak ikan pasca larva. Kolam dapat berupa kolam tanah, kolam beton atau di sawah. Ukuran kolam untuk pemeliharaan benih antara 250-600 m2. Pada pembenihan yang lebih maju, kolam pemeliharaan benih terdiri dari beberapa buah, yaitu pemeliharaan benih I, II, dan III. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2 berikut :





Gambar 2. Sarana pembenihan (Puspowardoyo dan Djarijah, 2006)
2.4 Pemeliharaan Induk
Menurut Suyanto (2007), pemeliharaan dan perawatan calon induk lele harus diusahakan agar induk selalu dalam keadaan sehat, tidak mudah terserang penyakit, vitalitasnya tinggi, supaya dapat menghasilkan keturunan yang sehat.
Menurut Khairuman dan Amri (2002), induk jantan dipelihara secara terpisah dengan induk betina. Hal ini memudahkan dalam pengelolaan, pengontrolan, dan yang terpenting dapat mencegah terjadinya "mijah maling" atau memijah di luar kehendak. Kolam induk berupa kolam tanah, kolam tembok, atau kolam tanah dengan pematang tembok. Tidak ada ketentuan khusus tentang ukuran kolam untuk pemeliharaan induk. Setiap kolam dilengkapi saluran pemasukan dan pengeluaran air. Di kedua saluran ini di pasang saringan agar hewan liar tidak masuk dan induk-induk yang dipelihara tidak dapat keluar atau kabur. Kepadatan penebaran antara 3-4 kg/m2, sedangkan ketinggian air di kolam induk antara 60-75 cm dengan debit 20-25 liter/menit. Air yang mengairi kolam induk sebaiknya bersih dan tidak tercemar limbah rumah tangga atau limbah lainnya. Agar diperoleh kematangan induk yang memadai, setiap hari induk diberi pakan bergizi. Jenis pakan yang diberikan berupa pakan buatan berupa pellet sebanyak 3-5% per hari dari bobot induk yang dipelihara. Pakan diberikan dua sampai tiga kali sehari pada pagi, sore, dan malam hari.
Menurut pendapat Soetomo (2000), perbedaan lele jantan dan lele betina adalah:
a. Lele jantan
• Memiliki naluri gerakan yang lincah
• Postur tubuh dan perut yang ramping
• Memiliki tulang lempeng kepala lebih mendatar
• Warna tubuh hijau kehitam-hitaman, kadang-kadang lebih gelap
• Lubang kelamin runcing dan lebih menonjol
b. Lele betina
• Memiliki naluri gerakan lambat/lamban
• Postur tubuh gemuk dan lembek
• Warna tubuh kelabu ke kuning-kuningan
• Lebih cerah dari yang lainnya
• Gonad/kelamin bentuknya bulat telur dan agak melebar

Induk yang dipilih sebaiknya yang telah biasa dipelihara di kolam. Perawatan ditujukan agar induk selalu dalam keadaan sehat, mempunyai vitalitas tinggi dan menghasilkan keturunan yang sehat. Induk yang telah berumur 1 tahun lebih dengan berat minimal 150 gr dapat dipijahkan sampai ia berumur 5 tahun dengan interval 2 bulan sekali. Untuk itu, induk perlu dirawat dan dijaga kebersihan lingkungannya dengan cara sebagai berikut:
a. Mengatur aliran air masuk yang bersih, walaupun kecepatan aliran air tidak perlu deras. Cukup 5-6 liter/menit.
b. Memberikan makanan yang cukup kandungan gizinya dengan kadar protein lebih dari 35%
c. Segera dipisahkan induk-induk yang mulai lemah atau yang terserang penyakit untuk segera diobati.
d. Ikan lele yang hanya diberi makanan daun-daunan, pertumbuhannya lebih lambat daripada yang diberikan makanan berupa pelet, cacing, serangga, dan makanan buatan lainnya.
2.5 Seleksi Induk
Menurut Puspowardoyo dan Djarijah (2006), seleksi induk harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan gangguan fisik ataupun psikis. Lele dumbo yang mengalami gangguan fisik ataupun psikis akan menjadi stress sehingga telur keluar lebih dini atau bahkan tidak mau bertelur sama sekali. Telur yang keluar lebih awal sebelum induk dimasukkan berpasangan dalam kolam pemijahan tidak akan terbuahi. Sebaliknya, telur yang tidak keluar selama proses pemijahan akan diserap kembali oleh dinding-dinding ovarium untuk diproses menjadi makanan (energi) dan disimpan kembali dalam bentuk daging.
Menurut Soetomo (2000), memilih induk lele harus cermat dan teliti agar memperoleh induk lele yang baik, yang nantinya mampu menghasilkan benih yang bermutu dan terus menerus sehingga budidaya atau berternak ikan lele berhasil. Persyaratan calon induk lele yaitu sehat, tidak cacat, lincah, berumur minimum 1 tahun, panjang 20 - 25 cm dengan berat 150 – 350 gr, apabila kena sinar warna kulit punggung lele mengkilat seperti beledu, calon induk lele sudah jinak dan tidak liar.
Menurut Budi (2009), ciri-ciri induk lele siap pijah secara umum adalah calon induk terlihat mulai berpasang-pasangan, kejar-kejaran antara induk jantan dan betina. Adapun diuraikan secara detail cirri-ciri induk lele siap pijah adalah sebagai berikut :
a. Ciri–ciri induk lele jantan siap pijah
1. Ukuran kepala lebih kecil dari betina
2. Warna kulit dada lebih suram dari si betina
3. Kelamin (urogenital papilla) menonjol, memanjang kearah belakang, terletak di belakang anus dan warna kemerahan
4. Gerakan lincah
5. Perutnya lebih langsing
6. Apabila diurut di daerah perut maka akan keluar cairan putih kental (sperma)
7. Kulit lebih halus di banding induk betina.
b. Ciri–ciri induk betina siap pijah
1. Kepala lebih besar dari sang jantan
2. Warna kulit dada lebih terang
3. Kelamin (urogenital papilla) berbentuk oval berwarna kemerahan, lubangnya agak lebar dan terletak di belakang anus.
4. Gerakannya lambat.
5. Perutnya lebih gembung dan lunak.
6. Apabila diurut di bagian perut ke arah anus maka akan mengeluarkan cairan kekuningan ( ovum/telur ).
2.6 Pemijahan
2.6.1 Persiapan pemijahan
Menurut Khairuman dan Amri (2002), pembuatan atau persiapan kolam pemijahan dilakukan bersamaan dengan persiapan atau pemilihan induk. Untuk setiap pasang induk yang beratnya 1 kg diperlukan satu buah kolam pemijahan, dengan ukuran 1 x 2 x 0,5 m. Sebelum digunakan, kolam atau bak dicuci bersih agar lele terhindar dari serangan penyakit. Selanjutnya bak diisi air bersih setinggi 50-60 m. Sebagai tempaat menempelnya telur, di dasar bak dipasang kakaban yang terbuat dari ijuk. Kakaban harus menutupi seluruh permukaan dasar kolam pemijahan, sehingga semua telur lele tertampung di kakaban. Bagian atas kolam pemijahan ditutupi dengan papan atau triplek atau anyaman bambu untuk mencegah induk lele yang sedang dipijahkan meloncat keluar.
2.6.2 Proses Pemijahan
Menurut Puspowardoyo dan Djarijah (2006), Induk lele jantan dan betina yang sudah diseleksi segera dimasukkan ke dalam kolam pemijahan. Setiap pasangan induk terdiri atas 1 (satu) ekor induk jantan dan 2 (dua) ekor induk betina. Usahakan agar induk lele dumbo yang dipijahkan tidak beringas sehingga saling menyerang satu sama lain. Di kolam pemijahan, biasanya induk jantan yang telah matang kelamin dan tidak menemukan pasangan induk betina yang matang telur akan menjadi beringas. Untuk mencegah prilaku beringas ini, maka induk-induk lele dumbo betina harus diusahakan yang benar-benar sudah siap berpijah.
Pasangan induk lele yang cocok dan telah matang kelamin akan segera berpijah setelah dimasukkan ke dalam kolam pemijahan. Biasanya induk lele dumbo berpijah pada tengah malam menjelang pagi, yakni sekitar pukul 02.00-04.00. Tetapi, proses pemijahan tersebut kadang-kadang mundur sampai sehari lebih (24-36 jam) (Puspowardoyo dan Djarijah, 2006).
Proses peijahan lele dumbo diawali dengan pengeluaran telur dari induk betina dan disusul dengan semprotan sperma oleh induk jantan. Induk yang telah berpijah dapat dilihat dari prilaku dan telur hasil pemijahannya. Prilaku induk lele jantan yang telah berpijah menjadi lebih tenang dan lebih banyak diam. Sedangkan induk lele dumbo betina yang telah berpijah akan menepi di pinggiran kolam (Puspowardoyo dan Djarijah, 2006).
Induk lele dumbo yang telah memijah tersebut sebenarnya sangat lapar dan lelah. Jika induk lele tersebut dalam beberapa jam tidak mendapat makanan untuk disantap, maka induk-induk tersebut akan memakan telurnya sendiri. Oleh karena itu, pagi hari setelah berpijah, induk lele dumbo yang telah memijah harus segera ditangkap dan dimasukkan lagi ke kolam penampungan serta diberi makanan yang cukup. Sedangkan telur-telurnya dipindahkan ke kolam penetasan (Puspowardoyo dan Djarijah, 2006).
2.7 Penetasan Telur
Menurut Puspowardoyo dan Djarijah (2006), telur hasil pemijahan akan menempel pada serabut kakaban. Telur yang baik berwarna kuning jernih, kelihatan segar, mengkilat, dan tampak bulatan kecil seperti inti atau nokta di tengahnya. Sedangkan telur yang jelek berwarna putih keruh. Telur yang baik akan menetas menjadi larva sedangkan yang jelek akan membusuk.

Pemindahan telur-telur lele dumbo ke kolam penetasan dilakukan dengan cara diangkat beserta kakabannya. Sedangkan telur yang tercecer di dasar kolam dipungut dengan cara disipon dan disaring dengan kain halus. Telur yang terambil dimasukkan ke dalam ember dan selanjutnya dimasukkan ke dalam bak penetasan (Puspowardoyo dan Djarijah, 2006).
Telur lele dumbo akan menetas menjadi larva setelah 24-36 jam kemudian. Larva yang menetas akan bergerak di dasar kolam atau melayang disekitar serabut kakaban. Sesekali larva akan bergerak ke permukaan air, kemudian menyelam kembali (Puspowardoyo dan Djarijah, 2006).
Kakaban diangkat setelah 3 (tiga) hari sejak telur menetas. Kemudian, kakaban dibersihkan dan dikeringkan. Kakaban ini dapat digunakan lagi untuk pemijahan berikutnya. Telur-telur yang tidak menetas dan mati dibuang dengan cara disipon (Puspowardoyo dan Djarijah, 2006).
Selama perawatan telur sampai menetas perlu dikucurkan atau ditambakan air sebagai penganti air yang terbuang saat melakukan penyiponan. Tambahkan pula obat (bahan kimia) malachyt green yang dilarutkan dalam media (air), dosisnya 0,1 ppm. Obat atau desinfektan ini akan melindungi telur dan larva dari serangan jamur ataupun bakteri (Puspowardoyo dan Djarijah, 2006).
2.8 Pemeliharaan Larva
2.8.1 Pengelolaan Kualitas Air
Menurut Khairuman dan Amri (2002), kolam atau tempat penetasan telur sekaligus dijadikan sebagai tempat pemeliharaan larva. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan selama pemeliharaan larva, yakni kualitas air tetap terjaga dengan baik dan pakan harus tersedia dalam jumlah dan kualitas yang mencukupi. Karenanya penggantian atau penambahan air harus dilakukan setiap 2 hari sekali atau tergantung dari kebutuhan dengan melihat kualitas air yang ada di dalam kolam penetasan.
Menurut Puspowardoyo dan Djarijah (2006), penggantian air pada bak perawatan larva dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Penggantian air hanya dilakukan setiap hari untuk menambah volume air yang terbuang saat dilakukan penyiponan.
b. Usahakan agar air yang ditambahkan tidak melebihi 10% dari total volume bak perawatan larva.
c. Setiap melakukan penyiponan sekaligus disedot pula kotoran dan sisa makanan dan bangkai larva yang mengendap didasar kolam.
d. Untuk mempertahankan kondisi oksigen dalam media dapat ditambahkan semburan air yang disuplai dari bak penampungan. Semburan air ini dibuat mirip air mancur (spraying water). Kucuran air ini lebih efektif dipancarkan (dialirkan) setiap malam.
2.8.2 Pengelolaan Pakan
2.8.2.1 Kultur Pakan Alami
Menurut Khairuman dan Amri (2002), kutu air (Daphnia sp) di samping dapat diperoleh dari alam, kutu air atau daphnia sp. dapat dikultur atau dibudidayakan. Budidaya kutu air dapat dilakukan di bak atau kolam tembok atau fiber glass berukuran 1x1x0,25 m atau disesuaikan dengan luas lahan. Mula-mula bak dikeringkan dan dibersihkan, selanjutnya diisi air bersih yang berasal dari sumur pompa atau sumur timba. Untuk mempercepat pertumbuhan kutu air, harus dilakukan pemupukan menggunakan kotoran ayam yang sudah kering sebanyak 2-5 gr/liter.
Cara pemupukannya dengan menyaring kotoran ayam menggunakan karung atau media lain agar bahan-bahan yang kasar (ampas) tidak masuk ke dalam bak atau wadah. Pupuk yang baik ditandai dengan perubahan warna air menjadi cokelat seperti teh, setelah pupuk dimasukkan ke dalam bak. Selanjutnya air dibiarkan selama 3-4 hari. Pada hari kelima diinokulasikan (ditebarkan) bibit-bibit Daphnia sp. hasil tangkapan dari alam. Pada hari ketujuh baru dapat dipanen. Pemupukan dilakukan ulang dengan dosis ½ dari pemupukan pertama supaya Daphnia sp. selalu tersedia (Khairuman dan Amri 2002).
2.8.2.2 Pemberian Pakan
Menurut Suyanto (2007), makanan alami ikan lele adalah binatang-binatang renik, seperti kutu-kutu air (Daphnia, Cladosera, Copepoda), cacing-cacing, larva (jentik-jentik serangga), siput-siput kecil, dan sebagainya.
Pemberian pakan larva pada bak perawatan larva dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a. Makanan diberi setelah benih (larva) berumur 5 (lima) hari sejak menetas.
b. Jenis makanan yang diberikan adalah pakan alami berupa plankton hewani atau nabati yang diambil dari perairan (kotor, waduk, sungai, sawah, dll.) atau hasil hasil produksi massal.
c. Jenis makanan lain adalah pakan ikan cetak atau buatan (artificial food) yang dapat dibeli di toko ternak(poultry shop) atau kuning telur ayam yang direbus dan dihancurkan. Pada umur 15 hari dapat diberikan makanan berupa cacing merah atau tubifex (chopped worm).
d. Makanan diberikan sedikitnya setiap 6 jam sekali. Jumlah makanan disesuaikan dengan nafsu makan larva, tetapi tidak melebihi 10% dari prakiraan berat badan (biomas).
e. Perawatan larva ikan lele dumbo tidak perlu dilakukan penjarangan. Oleh karena itu, bak (kolam) perawatan yang dipersiapkan harus diperkirakan mampu menampung jumlah larva yang dirawat.
f. Perawatan larva hanya dilakukan selama 20-25 hari. Dalam keadaan normal, larva lele dumbo akan tumbuh menjadi benih ukuran 2-3 cm (panjang) setelah 20-25 hari.
2.9 Pengendalian Hama dan Penyakit
2.9.1 Hama
Menurut Puspowardoyo dan Djarijah (2006), hama yang sering menyerang lele dumbo di kolam terbuka adalah ular dan kepiting. Ular suka memangsa bibit lele dumbo yang masih kecil dan lemah. Sedangkan kepting akan masuk ke dalam kolam dan merusak pematang sehingga kolam mudah bocor dan ambrol.
Kedua jenis hama tersebut tidak tergolong hama yang ganas dan tidak menimbulkan kerugian cukup besar. Pengendaliannya tidak perlu dilakukan dengan obat kimiawi, tetapi cukup dilakukan dengan cara ditangkap dan dibuang atau dimusnahkan (Puspowardoyo dan Djarijah, 2006).
2.9.2 Penyakit
Menurut Puspowardoyo dan Djarijah (2006), Jenis penyakit yang sering menyerang lele dumbo adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa, bakteri, dan virus. Penyakit parasitik juga dikenal sebagai penyakit infeksi karena menimbulkan luka pada ikan yang terserang. Sebaliknya, penyakit non-parasitik tidak menimbulkan luka pada ikan yang terserang sehingga disebut penyakit non-infeksi.
Biasanya, jenis protozoa penyebab timbulnya infeksi pada lele dumbo adalah Ichthyopthirius sp, Trichodina sp, dan Chilodonella sp. Penyakit yang ditimbulkan oleh serangan protozoa adalah penyakit bintik putih (White spot diseases). Penyakit ini banyak ditemukan pada benih lele dumbo. Faktor-faktor abiotik yang berpengaruh terhadap serangan penyakit protozoa adalah kekurangan makanan, kekurangan oksigen terlarut, dan fluktuasi suhu yang sangat drastis (Puspowardoyo dan Djarijah, 2006).
Jenis-jenis bakteri penyebab timbulnya penyakit pada ikan lele dumbo adalah Aeromonas sp, Pseudomonas sp, dan Mycobacrerium sp. Gejala serangan penyakit bakterial adalah bintik merah diseluruh permukaan tubuh ikan, perut mengembung (busung), sirip ekor geripis, sirip punggung dan sirip dada berdarah,dll. Faktor-faktor utama penyebab serangan penyakit adalah fluktuasi suhu air dan pencemaran bahan organik dalam air pemeliharaan (Puspowardoyo dan Djarijah, 2006).
Virus yang menyerang ikan lele dumbo pada umumnya adalah Rabdovirus. Virus ini bentuknya mirip peluru. Gejala serangan virus Rabdovirus adalah pendarahan (hemoragik) pada organ-organ ikan dan kulit, perut mengembung, dan kulit pucat. Faktor utama penyebab virus Rabdovirus adalh perubahan (fluktuasi) suhu air (Puspowardoyo dan Djarijah, 2006).
Menurut Suyanto (2007), penyakit ikan yang disebabkan oleh jamur dapat diobati dengan tiga cara; yaitu direndam larutan kalium permanganat, larutan garam dapur, dan larutan malachyte green. Ikan direndam dalam larutan kalium permanganat 1 gram per 100 liter, selama 60-90 menit. Ikan direndam dalam larutan garam dapur (10 gram per liter) selama 1 menit.
2.10 Panen dan Pasca Panen
2.10.1 Panen
Menurut Khairuman dan Amri (2002), setelah dipelihara selama 30-40 hari, benih lele dumbo siap dipanen pada pagi atau sore hari saat suhu rendah. Pemanenan dimulai dengan mempersiapkan alat-alat panen serta tempat penampungan benih hasil panen. Setelah semua peralatan siap, kolam dikeringkan secara perlahan-lahan sampai air yang tersisa hanya tinggal di kamalir. Dalam keadaan ini, benih-benih lele dumbo akan terkumpul di dalam kamalir. Selanjutnya dengan alat tangkap (sair), benih ditangkap dan ditampung di dalam wadah yang telah disediakan. Benih disortir atau dipisahkan sesuai dengan ukurannya.
2.10.2 Pasca Panen
Menurut Prihartono, R.E (1999), mengangkut lele dumbo ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu cara tertutup dan cara terbuka. Cara tertutup diterapkan untuk pengangkutan lele dumbo ukuran kecil atau jarak angkutnya jauh, Wadah angkutnya dapat berupa kantung plastik berisi air sebanyak ¼ bagian dan oksigen. Wadah ini selanjutnya diikat dengan karet. Sementara pengangkutan cara terbuka diterapkan untuk ikan berukuran besar atau jarak angkutnya dekat. Wadah angkutnya dapat berupa tong plastik yang diisi air sebanyak ¼ bagian. Pada cara terbuka ini wadahnya tidak diberi oksigen. Setelah diisi air, lele dapat dimasukkan ke dalam tong dan tutup agar tidak loncat.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1 Pengelolaan Induk Lele Dumbo
5.1.1 Pemeliharaan Induk
Bak pemeliharaan induk berupa bak permanen yaitu dinding dan dasarnya terbuat dari beton. Bak tersebut memiliki luas 50 m2 dengan panjang 10 m dan lebar 5 m. Setiap bak dilengkapi saluran pemasukan dan pengeluaran air, agar memudahkan dalam pengisian dan pengeluaran air. Air yang digunakan sebagai media bak perawatan induk berasal dari mata air Tuk Umbul desa Ngrajek. Air tersebut memiliki kualitas yang baik karena langsung dialirkan dari sumber mata air dan terbebas dari pencemaran limbah karena lokasinya jauh dari pabrik–pabrik penghasil limbah sehingga air tersebut tidak perlu ditreatmen dahulu dan dapat langsung digunakan atau disalurkan pada kolam dan bak yang ada. Setiap bak pemeliharaan dialiri air media dengan debit air 0,5-1 L/dt
Induk betina berjumlah 415 ekor sedangkan induk jantan berjumlah 439 ekor, jadi jumlah seluruh induk adalah 954 ekor. Pada pemeliharaan induk ini antara induk jantan dan induk betina dipelihara dalam kolam terpisah, hal ini sesuai dengan pendapat Khairuman dan Amri (2002), induk jantan dipelihara secara terpisah dengan induk betina agar memudahkan dalam pengelolaan, pengontrolan, dan yang terpenting dapat mencegah terjadinya "mijah maling" atau memijah di luar kehendak.
Adapun ciri-ciri antara induk jantan dan induk betina yaitu :
1. Induk Jantan
a. Gerakan lincah
b. Postur tubuh ramping dan panjang
c. Tulang lempeng kepala lebih datar
d. Lubang kelamin lebih panjang, menonjol dan runcing
e. Warna tubuh sama dengan induk betina yaitu berwarna kelabu mengkilat
2. Induk Betina
a. Gerakan lamban
b. Postur tubuh gemuk dan lembek
c. Tulang lempeng kepala lebih menggembung
d. Lubang kelamin membulat
e. Warna tubuh sama dengan induk jantan yaitu berwarna kelabu mengkilat.
Induk yang dipelihara rata-rata berumur 1,5-2,5 tahun, berat induk jantan berkisar antara 500-800 gr, sedangkan berat induk betina berkisar antara 400-500 gr. Panjang induk jantan berkisar antara 45-50 cm, sedangkan panjang induk betina antara 40-45 cm. Induk betina dapat dipijahkan dengan interval 2 bulan sekali, sedangkan induk jantan dapat dipijahkan sepanjang tahun. Induk yang telah dipijahkan dan yang belum dipijahkan dalam pemeliharaannya dipisah supaya dapat diketahui giliran induk yang akan dipijahkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Soetomo (2000), yang menyatakan bahwa Induk yang dipilih sebaiknya yang telah biasa dipelihara di kolam. Perawatan ditujukan agar induk selalu dalam keadaan sehat, mempunyai vitalitas tinggi dan menghasilkan keturunan yang sehat. Induk yang telah berumur 1 tahun lebih dengan berat minimal 150 gr dapat dipijahkan sampai ia berumur 5 tahun dengan interval 2 bulan sekali.
Apabila induk betina yang telah dipijahkan mengalami luka yang disebabkan oleh perlakuan induk jantan maka induk betina diobati dengan menggunakan PK (Kalium Permanganat) dosisnya 5 ppm dengan cara merendam ikan selama 5-10 menit.
5.1.2 Pengelolaan Pakan Induk
Pakan yang diberikan untuk pengelolaan induk ikan lele dumbo berupa pellet. Frekuensi pemberian pakan pada induk lele dumbo 2 kali sehari, yaitu pada pagi hari pukul 07.00 dan sore hari pukul 17.00. Dosis pemberian pakan yaitu 2 % per hari dari total berat tubuh induk. Pakan yang digunakan adalah pellet yang mengandung protein lebih dari 35%, hal ini sesuai dengan pendapat Soetomo (2000), yang menyatakan bahwa memberikan makanan yang cukup kandungan gizinya dengan kadar protein lebih dari 35%. Dalam pemberian pakan pellet tidak dianjurkan memberi pakan secara berlebihan karena akan mengakibatkan penurunan kualitas air. Turunnya kualitas air disebabkan kandungan O2 dalam air berkurang dan bertambahnya H2S dan CO2 di dalam air akibat proses pembusukan pakan yang tidak dimakan. Pakan pellet yang diberikan untuk induk dapat dilihat pada gambar .







Gambar . Pakan Induk Ikan Lele
Sumber. Data Primer, 2010

5.2 Pemijahan
5.2.1 Persiapan Bak Pemijahan
Bak pemijahan yang digunakan adalah bak permanen yang terbuat dari semen/ beton an dilapisi dengan keramik. Luas bak pemijahan yaitu 7,2 m2 dengan panjang 4,8 m dan lebar 1,5 m. Untuk mempersiapkan bak pemijahan dilakukan beberapa langkah yaitu pembersihan, proses sterilisasi dan pemasangan kakaban. Pembersihan dilakukan dengan menyikat kotoran yang menempel pada dinding dan dasar bak. Setelah itu bak dibilas dengan air hingga bersih. Proses selanjutnya adalah sterilisasi yaitu dilakukan dengan cara menyemprotkan larutan formalin sebanyak 1 ppm ke seluruh bagian bak dan didiamkan selama 1 jam, hal ini bertujuan untuk mematikan organisme pathogen yang mungkin masih tersisa di bak tersebut, agar bak benar-benar steril dari organisme pathogen yang dapat mengganggu pertumbuhan ikan. Kemudian bak dibersihkan dengan cara dibilas dengan air bersih hingga benar-benar terbebas dari formalin.
Bak yang sudah dibersihkan dan disterilisasi kemudian dipasang kakaban yang terbuat dari ijuk dan berukuran panjang 30-40 cm sebagai tempat menempelnya telur hasil pemijahan. Kakaban diletakkan menempel pada dasar bak tidak boleh mengapung di permukaan air. Kakaban yang dipasang menutupi seluruh dasar bak pemijahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Khairuman dan Amri (2002), yaitu kakaban harus menutupi seluruh permukaan dasar kolam pemijahan. Tujuan dari penutupan dasar kolam secara keseluruhan dengan kakaban adalah supaya seluruh telur yang dikeluarkan oleh induk betina menempel pada kakaban dan tidak ada telur yang menempel pada dasar ataupun dinding bak pemijahan. Setelah bak dibersihkan dan dipasang kakaban kemudian dialiri air hingga ketinggian kira-kira 20-30 cm dari dasar bak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar .






Gambar . Pemasangan Kakaban
Sumber.Data Primer, 2010
Air yang digunakan untuk pemijahan tidak ditreatmen terlebih dahulu karena air tersebut berasal dari mata air yang airnya bersih dan tidak tercemar atau terbebas dari limbah.

5.2.1 Seleksi Induk
Induk lele dumbo yang baik untuk dipijahkan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Induk Jantan :
• Induk yang akan dipijahkan harus sehat, tidak cacat, lincah dan agresif, memiliki berat rata-rata 1000 gr/ekor.
• Postur tubuh ramping apabila diurut bagian perut keluar cairan berwarna putih susu (cairan sperma).
• Pada bagian ujung alat kelamin terlihat berwarna kemerahan dan memanjang.
• Umur induk yang digunakan untuk pemijahan minimal 1 tahun.
2. Induk Betina :
• Induk yang akan dipijahkan harus sehat, tidak cacat, lincah dan agresif, postur tubuh gemuk, pada bagian perut apabila diraba terasa lunak dan memiliki berat rata-rata 800 gr.
• Apabila diurut bagian perutnya keluar cairan berwarna kuning transparan lubang kelamin berwarna merah tua, melebar dan membengkak.
• Umur induk yang digunakan untuk pemijahan minimal 1 tahun.
Perbedaan induk jantan dan betina dapat dilihat pada gambar berikut.

















(a) (b)
Gambar (a). Induk Jantan dan Gambar (b). Induk Betina
Sumber. Data Primer, 2010


Seleksi induk dilakukan dengan cara menyurutkan air kolam induk hingga ketinggiannya mencapai sekitar 30 cm dari dasar kolam. Setelah air kolam disurutkan tangkap induk dengan menggunakan seser secara perlahan. Induk yang telah ditangkap kemudian dilihat jenis kelamin dan matang tidaknya gonad induk tersebut. Untuk melihat kematangan gonad induk yaitu dengan melakukan stripping pada bagian perutnya. Apabila induk jantan pada saat distripping mengeluarkan sperma maka induk jantan tersebut siap untuk dipijahkan, sedangkan induk betina akan mengeluarkan telur yang berwarna kuning kehijauan. Induk yang telah diseleksi kemudian dimasukkan dalam wadah untuk kemudian dibawa ke bak pemijahan.
Sebelum induk jantan dan betina dimasukkan dalam bak pemijahan, terlebih dahulu dilakukan pengukuran berat dan panjang badan. Untuk Induk jantan berat rata-rata 1 kg dan panjang 50-54 cm, sedangkan berat induk betina rata-rata 800 gr dengan panjang 43-50 cm.

5.2.2 Proses Pemijahan
Pemijahan yang dilakukan adalah pemijahan secara alami tanpa menggunakan rangsangan hormon. Induk yang telah diseleksi kemudian dimasukkan dalam bak pemijahan secara perlahan agar induk tidak mudah stress. Perbandingan antara induk jantan dan induk betina pada saat pemijahan yaitu 3:4 dalam satu kolam. Pemijahan diawali dengan induk jantan mendekati induk betina kemudian berkejar-kejaran mengelilingi kakaban. Induk betina akan mengeluarkan telur kemudian induk jantan mengeluarkan spermanya untuk membuahi telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Puspowardoyo dan Djarijah (2006) yang menyatakan bahwa Proses peijahan lele dumbo diawali dengan pengeluaran telur dari induk betina dan disusul dengan semprotan sperma oleh induk jantan. Induk yang telah berpijah dapat dilihat dari prilaku dan telur hasil pemijahannya.
Pada saat proses pemijahan berlangsung, seluruh penerangan yang berada disekitar bak pemijahan dimatikan, hal ini bertujuan untuk menciptakan suasana sunyi dan gelap sehingga proses pemijahan dapat berjalan dengan lancar. Biasanya proses pemijahan terjadi pada malam hari antara pukul 24.00-03.00 dengan ditandai posisi induk jantan di bawah sedangkan betina di atas. Selain itu akan tercium bau amis, dan air berbuih. Setelah proses pemijahan selesai, kakaban akan dipenuhi oleh telur.
5.2.3 Penetasan Telur
Persiapan bak penetasan tidak berbeda dengan persiapan bak pemijahan, dinding dan dasar bak disikat menggunakan sikat biasa atau sikat kawat supaya kotoran dan lumut yang menempel pada dinding dan dasar bak hilang. Dalam membersihkan bak penetasan telur dilakukan dengan hati-hati agar bak tidak mudah pecah karena terbuat dari bahan fieber. Bak kemudian diisi air dengan ketinggian 40 cm dari dasar bak dan diberi aerasi untuk meningkatkan kandungan oksigen yang terdapat dalam media penetasan. Suhu air yang terdapat pada bak penetasan telur yaitu berkiar antar 25-26 ºC. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar. berikut.






Gambar. Pembersihan Bak Penetasan
Sumber : Data Primer, 2010


Pada pagi hari setelah proses pemijahan selesai, dilakukan pemindahan kakaban yang berisi telur dari bak pemijahan ke dalam bak penetasan telur, kemudian induk dipindahkan langsung ke kolam pemeliharaan induk agar apabila induk kelaparan tidak memakan telurnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Puspowardoyo dan Djarijah (2006), jika induk lele tersebut dalam beberapa jam tidak mendapat makanan untuk disantap, maka induk-induk tersebut akan memakan telurnya sendiri. Oleh karena itu, pagi hari setelah berpijah, induk lele dumbo yang telah memijah harus segera ditangkap dan dimasukkan lagi ke kolam penampungan serta diberi makanan yang cukup. Sedangkan telur-telurnya dipindahkan ke kolam penetasan
Pada saat meletakkan kakaban ke dalam bak penetasan kakaban diletakkan dalam keadaan terbalik, hal ini bertujuan agar pada waktu larva menetas langsung turun dan kontak langsung dengan air, apabila kakaban tidak dibalik maka terjadi kematian pada larva sebab pada waktu larva menetas tidak langsung kontak dengan air, akan tersangkut oleh ijuk kemudian mati.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar. berikut.







Gambar. Kakaban
Sumber. Data Primer, 2010

Pada Satker PBIAT Ngrajek produksi total telur lele dumbo dapat mencapai 320.000 butir untuk 8 induk betina yang dipijahkan, dari jumlah telur tersebut, yang menetas sekitar 65% yaitu 208.000 butir telur. Telur yang telah dibuahi akan berwarna kuning transparan kecoklatan, sedangkan telur yang tidak dibuahi akan berwarna putih susu atau putih pucat. Hal ini sesuai dengan pendapat Puspowardoyo dan Djarijah (2006), telur hasil pemijahan akan menempel pada serabut kakaban. Telur yang baik berwarna kuning jernih, kelihatan segar, mengkilat, dan tampak bulatan kecil seperti inti atau nokta di tengahnya. Sedangkan telur yang jelek berwarna putih keruh. Telur yang baik akan menetas menjadi larva sedangkan yang jelek akan membusuk.
Telur akan menetas menjadi larva dalam waktu 24-26 jam. Larva yang baru menetas tidak memerlukan makanan tambahan dari luar tubuh karena tersedia cadangan makanan di dalam tubuhnya berupa kantong kuning telur (egg yolk). Larva tersebut tidak diberikan makanan tambahan sampai cadangan makanan (egg yolk) tersebut habis atau sekitar umur 3 hari. Larva yang masih memiliki egg yolk akan bergerak berputar-putar secara perlahan dan akan berkumpul pada sudut-sudut bak atau dasar bak. Setelah 3 hari kakaban diangkat dari bak penetasan dibersihkan kemudian dijemur. Larva yang telah menetas akan bergerak secara perlahan dan akan berkumpul pada sudut-sudut bak. Sungut atau kumis telah terbentuk pada saat larva berumur 1-2 hari. Hal tersebut sesuai dengan Soetomo (2000), perkembangan ikan lele berlangsung dengan ditandai terbentuknya sungut setelah benih berumur 2 hari.
5.3 Pemeliharaan Larva
a. Pendederan I
Pendederan I dilakukan di dalam kolam pendederan yang memiliki luas 1000 m2 dan terdapat di luar ruangan (outdoor). Kolam tersebut terbuat dari beton dengan dasar tanah. Sebelum lara ditebar pada kolam pendederan I, terlebih dahulu kolam dilakukan pengelolaan tanah dasar kolam yaitu dengan pemupukan dan pengapuran dasar kolam.
Pemupukan dasar kolam dilakukan dengan menebarkan langsung pupuk kandang pada dasar kolam. Pupuk kandang yang digunakan adalah kotoran ayam sebanyak 500 gr/m2. Pemupukan dasar kolam bertujuan untuk mengembalikan kesuburan tanah agar pakan alami berupa phytoplankton dapat tumbuh. Phytoplankton yang tumbuh di dalam kolam memicu tumbuhnya zooplankton sebagai pakan alami larva lele. Sedangkan pengapuran dasar kolam dilakukan dengan cara menebar kapur secara merata pada dasar kolam sebanyak 5 gr/m2, hal ini bertujuan untuk meningkatkan pH tanah.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar.









Setelah proses pemupukan dan pengapuran selesai, maka kolam dibiarkan selama satu hari, hal ini bertujuan agar pupuk dan kapur yang telah ditebar dapat meresap ke dalam tanah. kemudian kolam dialiri air sampai ketinggian 30-40 cm dari dasar kolam dan dibiarkan selama tiga hari.
Setelah pengisian air selesai, larva yang berumur 3-4 hari ditebar ke dalam kolam pendederan. Penebaran larva dilakukan dengan cara mengisi air pada wadah pengangkutan sedikit-demi sedikit hingga larva keluar dengan sendirinya, penebaran ini delakukan dengan hati-hati agar larva tidak mudah stress. Jumlah larva yang ditebar yaitu 154.050 ekor. Lama pendederan I yaitu selama tujuh hari dan SR yang dicapai pada pendederan I yaitu 70% sebanyak 107.835 ekor. Selama pendederan I benih mencapai ukuran 1-3 cm.
b. Pendederan II
Persiapan kolam pendederan II sama halnya dengan persiapan pada kolam pendederan I yaitu dengan pemupukan dan pengapuran dasar kolam. Setelah pemupukan dan pengapuran selesai barulah kolam diisi dengan air. Kemudian setelah didiamkan selama tiga hari kemudian larva yang sebelumnya dipelihara pada kolam pendederan I ditebar ke dalam kolam pendederan II. Perlakuan penebaran benih sama halnya dengan perlakuan penebaran larva.
Pendederan II berlangsung selama 21 hari, dan benih mencapai ukuran 9-12 cm. Pemeliharan benih pada kolam pendederan II mencapai SR 80% yaitu 822.680 ekor.



5.4 Pengelolaan Pakan
Pemberian pakan pada pemeliharaan larva ikan lele dumbo dilakukan setelah umur 4 hari karena cadangan kuning telur (yolk egg) pada tubuh larva telah habis hal ini ditandai dengan sudah tidak terdapat warna kuning yang ada pada bagian perut larva dan larva telah bergerak secara aktif untuk mencari makanan. Makanan yang diberikan setelah umur 4 hari adalah pakan alami berupa cacing sutera yang ditebarkan secara merata kedalam bak pemeliharaan larva.
Pada pendederan I pemberian pakan buatan dilakukan setelah dua hari dari penebaran atau benih berumur enam hari. Pakan yang digunakan adalah pellet sebanyak 1,5 gr/1 m2 yang dijadikan bubur. Kemudian pakan ditebar secara merata pada permukaan air kolam dengan frekuensi 2x1 hari. Pemberian pakan dilakukan pada pagi dan sore hari pada pukuk 07.00 dan 17.00.
Pada pendederan II pakan yang diberikan sudah menggunakan pakan utuh yang mengapung. Dosis pemberian pakan yaitu sebanyak 2 gr/1 m2 dengan frekuensi pemberian pakan 2x1 hari. Pemberian pakan dilakukan pada pagi dan sore hari pada pukuk 07.00 dan 17.00 dengan cara ditebar merata pada seluruh permukaan air.

5.2.7 Pengelolaan Kualitas Air
Air media yang digunakan untuk pemeliharaan larva yang berumur 0-11 hari berasal dari air sumur dengan pH 7,2. Pada bak pendederan I ketinggian air dipertahankan 10-15 cm. Air yang berasal dari sumur ini tidak melalui penyaringan terlebih dahulu karena dianggap air telah melalui penyaringan alami yaitu oleh tanah dan belum tercemar. Pada saat larva lele dumbo berumur 11-24 hari bak pendederan II diisi air dengan ketinggian 50-70 cm dari air sungai yang terlebih dahulu dialirkan pada bak pembesaran nila yang dimaksudkan sebagai bak pengendapan.
Dilakukan pergantian air dengan debit 300 ml/menit untuk pendederan I yaitu dengan cara meletakkan pipa pada bagian tepi salah satu bak dan pipa tersebut dilubangi dengan diameter ½ cm yang berjumlah 3 buah untuk setiap baknya. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Khairuman dan Amri (2002a), Penggantian atau penambahan air harus dilakukan setiap 2 hari sekali. Pergantian air dilakukan setiap hari karena selain penambahan air ini berfungsi sebagai pergantian air, penambahan air ini juga berfungsi sebagai penambah oksigen terlarut dalam air atau aerator. Untuk pengurangan air, pada saluran pembuangan pipa dipasang miring supaya air dapat mengalir keluar secara teratur, tidak menyebabkan larva menjadi stres serta ketinggian air stabil. Suhu air pada bak pemeliharaan larva atau bak pendederan I dan pendederan II bekisar antara 25-31º C. Sedangkan pH air pada bak pemeliharaan larva berkisar antara 7,1-7,9. Untuk lebih jelas mengenai suhu dan pH air yang ada pada bak pemeliharaan larva dari umur 1 hari sampai panen atau umur 24 hari dapat dilihat pada Lampiran 5.
Pakan campuran yang digunakan banyak menimbulkan polusi pada media air sehingga perlu dilakukan penyiponan. Pertama kali penyiponan dilakukan pada saat larva berumur 7 hari. Penyiponan dilakukan dengan menggunakan alat yang berupa selang yang dihubungkan dengan pipa paralon yang ujungnya terdapat lubang untuk menghisap kotoran yang berbentuk corong yang telah dibelah. Pada saat penyiponan aerasi tidak dimatikan, cara penyiponan yaitu arahkan pipa tersebut ke daerah yang kotor, dorong pipa sehingga ujung pipa lurus dengan dasar bak, kemudian menariknya perlahan-lahan sambil dimiringkan pada bagian ujungnya supaya kotoran tidak teraduk dan terangkat sehingga menyebabkan media air menjadi kotor. Penyiponan ini dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang mengendap pada dasar bak larva baik yang disebabkan oleh sisa hasil metabolisme maupun sisa pakan. Setelah dilakukan penyiponan bak pendederan I diberi probiotik dengan dosis 0,5 ppm supaya larva tidak stres akibat pengadukkan kotoran dasar bak.
5.2.8 Pengendalian Hama
1. Ular
Penanggulangannya yaitu dengan cara dilakukan pengontrolan setiap saat sehingga pada saat ada ular maka dapat langsung dibunuh dengan menggunakan senapan angin atau dengan pemukul. Serta untuk mencegah masuknya hama ini disekitar kolam selalu dibersihkan. Hal ini sependapat dengan Suyanto (1992), Ular cara pemberantasannya yaitu sedapat mungkin ialah menangkapnya sewaktu terlihat di dalam kolam atau di sekitar kolam.
2. Kepiting
Penanggulangannya yaitu dengan cara dilakukan pengontrolan setiap saat apabila terdapat hama tersebut langsung dibunuh secara manual atau dengan cara dipukul sampai mati kemudian dibuang ke saluran pembuangan.
3. Larva Capung (Cybertis)
Penanggulangannya yaitu dengan cara dilakukan pengontrolan setiap saat apabila terdapat hama tersebut langsung ditangkap dengan menggunakan seser dan dibunuh secara manual atau dengan cara diinjak.
4. Katak
Penanggulangannya yaitu dengan cara dilakukan pengontrolan setiap saat apabila terdapat hama tersebut langsung dibunuh dan dibuang.

5.2.9 Panen
Panen benih ikan lele dilakukan pada saat benih berumur 24 hari dengan panjang larva 3-4 cm. Hal ini tidak sesuai dengan BPPP Tegal (2007), Pemungutan hasil pertama dilakukan setelah benih berumur 17-21 hari (panjang benih 2,5 cm). Ukuran benih 2,5 cm masih harus dipelihara lagi sampai benih berukuran minimal 3 cm, pembeli benih biasanya mencari benih berukuran besar selain siap ditebarkan dalam bak pembesaran dapat menghemat biaya pemeliharaan. Pelaksanaan panen biasanya dilakukan secara bertahap karena terjadi perbedaan ukuran, larva yang masih berukuran kurang dari 3 cm akan dipelihara lagi ke bak pendederan II. Pemanenan biasa dilakukan pada waktu pagi hari sekitar pukul 07.00 WIB atau pada sore hari pada pukul 16.30 WIB. Sehari sebelum panen biasanya benih dipuasakan terlebih dahulu untuk menghindari terjadinya penurunan kualitas air pada saat pengangkutan sehingga menyebabkan larva stres dan terjadi kematian.
Pada saat panen ketinggian air pada bak disurutkan sampai tinggal air di saluran tengah (caren). Hal ini untuk memudahkan penangkapan benih yang akan berkumpul pada saluran tengah dengan menggunakan seser. Benih digiring ke dekat saluran pembuangan yang tempatnya lebih dalam. Kemudian benih ditangkap dengan menggunakan seser dengan mata jaring yang sangat halus. Dalam menangkap benih dilakukan secara hati-hati supaya benih tidak luka atau cacat, kemudian benih ditampung pada ember plastik untuk sementara sebelum digrading di bak panen. Adapula cara panen yang lain yaitu dengan cara menjaring benih pada bak pendederan menggunakan waring yang bermata jaring halus berukuran 6x2 m pada sisinya diberi tongkat bambu supaya mudah dalam penggunaannya. Panen pada bak pendederan II yang berjumlah 2 bak ini menghasilkan benih berkisar 67.005 ekor. Proses pemanenan benih pada bak pendederan II dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Pemanenan Benih

Grading perlu dilakukan untuk memisahkan ikan berdasarkan ukuran. Apabila tidak digrading maka dapat menimbulkan kanibalisme antara sesama benih ikan yaitu ikan yang berukuran besar akan memakan ikan yang kecil karena terdapat pertumbuhan benih yang berbeda. Untuk itu, perlu dilakukan grading setiap 1 minggu sekali setelah larva berumur 18 hari. Grading dilakukan dengan menggunakan bak grading terbuat dari karet atau plastik yang dilubangi sesuai dengan ukuran benih. Grading benih ikan lele dilakukan dengan memisahkan ikan sesuai dengan ukuran.
5.3 Pasca Panen
Adapun teknik sampling benih ikan lele dumbo di UED Mina Utama yaitu dengan cara benih dihitung terlebih dahulu dengan cara menimbang sampel 100 ekor ikan, misal berat benih 100 ikan 100 gr maka untuk mencari jumlah ikan 100 ekor lagi yaitu dengan cara menimbang berat 100 gr.
Teknik packing benih yaitu dengan cara benih yang telah dihitung dimasukan ke dalam kantong plastik yang berukuran 30x20 cm yang telah diisi air sebanyak 1,5 liter, kepadatan antara 500–1000 ekor/kantong dengan benih yang berukuran 3–4 cm. Sedangkan untuk benih berukuran 5–8 cm kepadatannya antara 100–500 ekor/kantong. Selain menggunakan kantong plastik pengangkutan benih menggunakan jurigen yang tidak ditutup. Jurigen berukuran 10 liter yang telah diisi air sebanyak ¼ bagian dapat menampung 5000 ekor benih, setelah benih dimasukkan ke dalam jurigen diberi antibiotik yang berupa oxytetracyclin sebanyak 0,5 mg/liter air.
5.4 Produksi dan Pemasaran
Untuk benih yang masih berukuran kecil atau dibawah ukuran 3 cm akan dipelihara kembali di bak pendederan II sampai larva berukuran 3 cm dan siap untuk dijual. Benih ikan lele dumbo yang dipanen berukuran 3–6 cm. Daftar ukuran benih dan harga dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Harga Benih Berdasarkan Ukuran
Ukuran Benih (cm) Harga/ekor (Rp)
3
4
5
6
7
8 60
80
100
120
150
200
Sumber : UED Mina Utama, 2009
UED Mina Utama melakukan penebaran telur sebanyak 120.100 butir, telur yang menetas sebanyak 102.080 ekor atau
HR = jumlah telur yang menetas x 100%
jumlah telur yang ditebar

= 102.080 x 100%
120.100

= 84,9 %

dan telah menghasilkan benih ikan lele dumbo sebanyak 67.005 ekor yang telah ditebar pada sebuah bak pendederan II sehingga diperoleh
SR = jumlah benih yang dipanen x 100%
jumlah telur yang menetas

= 67.005 x100%
102.080

= 65,6 %

Adapun daerah pemasaran benih lele dumbo adalah Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar, Ampel, Semarang, Sragen dan Wonogiri.

Teknik Pemeliharaan Larva Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Udang Vannamei
2.1.1 Morfologi
Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) tubuh udang vannamei dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite. Vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara periodik (moulting). Bagian tubuh udang vannamei sudah mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut.
1. Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing).
2. Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas.
3. Organ sensor, seperti pada antena dan antenula.
a. Kepala (thorax)
Kepala udang vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan tiga pasang maxillipied dan lima pasang kaki berjalan (periopoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Maxillipied sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Endopodite kaki berjalan menempel pada chepalothorax yang dihubugka oleh coxa. Bentuk periopoda beruas-ruas yang berujung di bagian dactylus. Dactylus ada yang berbentuk capit (kaki ke-1, ke-2, dan ke-3) dan tanpa capit (kaki ke-4 dan ke-5). Di antara coxa dan dactylus, terdapat ruang berturut-turut disebut basis, ischium, merus, carpus, dan cropus. Pada bagian ischium terdapat duri yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi beberapa spesies penaeid dalam taksonomi.

2. Perut (abdomen)
Abdomen terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas (Haliman, R.W dan Adijaya, D.S, 2005). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dari gambar 1 berikut ini :





Gambar 1. Morfologi udang vannamei (Haliman, R.W dan Adijaya, D.S 2005)

2.1.2 Klasifikasi
Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) klasifikasi udang vannamei (Litopenaeus vannamei) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Sub kingdom : Metazoa
Filum : Artrhopoda
Sub filum : Crustacea
Kelas : Malascostraca
Sub kelas : Eumalacostraca
Super ordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Dendrobrachiata
Infra ordo : Penaeidea
Super famili : Penaeioidea
Famili : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei

2.1.3 Siklus Hidup
Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) udang vannamei bersifat noktural, yaitu melakukan aktifitas pada malam hari. Proses perkawinan ditandai dengan loncatan betina secara tiba-tiba. Pada saat loncatan tersebut, betina mengeluarkan sel-sel telur. Pada saat besamaan, udang jantan mengeluarkan sperma sehingga sel telur dan sperma bertemu. Proses perkawinan berlangsung sekitar 1 menit. Sepasang udang vannamei dapat menghasilkan 100.000-250.000 butir telur yang menghasilkan telur yang berukuran 0,22 mm.
Siklus udang vannamei meliputi stadia naupli, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia postlarva.

2.1.4 Perkembangan Stadia larva Udang Vannamei
Stadia larva dalam budidaya udang vannamei adalah sebagai berikut :
a) Stadia Naupli
Udang masih belum memiliki sistem pencernaan sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur sehingga udang masih belum membutuhkan makanan dari luar. Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada stadia ini, larva berukuran 0,32 - 0,58 mm. Sistem pencernaannya belum sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur sehingga pada stadia ini larva udang vannamei belum membutuhkan makanan dari luar.
Menurut Elovaara, A.K (2001) fase naupli dimulai dari pengeraman sampai hari ke-2 yaitu N1 sampai N2.
b) Stadia Zoea
Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) stadia selanjutnya adalah stadia zoea, stadia ini terjadi setelah naupli ditebar di bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam. Larva sudah berukuran 1,05 - 3,30 mm. Pada stadia ini, benih udang mengalami moulting sebanyak 3 kali, yaitu stadia zoea 1, zoea 2, zoea 3. Lama waktu proses pengantian kulit sebelum memasuki stadia berikutnya (mysis) sekitar 4 - 5 hari. Pada stadia ini udang dapat diberi pakan alami berupa artemia.
Menurut Elovaara, A.K (2001) fase zoea dimulai dari hari ke-2 sampai hari ke-4 yaitu Z1, Z2, Z3.
c) Stadia Mysis
Menurut Haliman RW dan Adijaya D (2005) pada stadia ini, benih sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan sudah terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Benih pada stadia ini sudah mampu menyantap pakan fitoplankton dan zooplankton. Ukuran larva sudah berkisar 3,50 - 4,80 mm. Stadia ini memiliki 3 substadia, yaitu mysis 1, mysis 2, mysis 3 yang berlangsung selama 3 - 4 hari sebelum masuk pada stadia post larva.
Menurut Elovaara, A.K (2001) fase mysis dimulai dari hari ke-5 sampai hari ke-10 yaitu M1, M2, M3.
d) Stadia Post larva
Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada stadia ini benih udang sudah tampak seperti udang dewasa dan sudah mulai bergerak lurus ke depan.
Sedangkan menurut Elovaara, A.K (2001) fase post larva dimulai dari hari ke-11 sampai hari ke-21 yaitu PL1 sampai M2.
Fase larva udang vannamei dapat dilihat dari gambar 2 berikut :









Gambar 2. Fase larva udang vannamei (Elovaara, A.K, 2001)

2.1.5 Tingkah Laku Makan
Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005), udang merupakan golongan hewan omnivora atau pemakan segala. Beberapa sumber pakan udang antara lain udang kecil (rebon), fitoplankton, cocepoda, polyhaeta, larva kerang, dan lumut.
Udang vannamei mencari dan mengidentifikasi pakan menggunakan sinyal kimiawi berupa getaran dengan bantuan organ sensor yang terdiri dari bulu-bulu halus (setae) yang terpusat pada ujung anterior antenula, bagian mulut, capit, antena, dan maxillipied.
Untuk mendekati sumber pakan, udang akan berenang menggunakan kaki jalan yang memiliki capit. Pakan langsung dicapit menggunakan kaki jalan, kemudian dimasukkan ke dalam mulut. Selanjutnya, pakan yang berukuran kecil masuk ke dalam kerongkongan dan oesophagus. Bila pakan yang dikonsumsi berukuran lebih besar, akan dicerna secara kimiawi terlebih dahulu oleh maxillipied di dalam mulut.
2.1.6 Sifat Udang Vannamei
Dalam usaha pemeliharaan larva udang vannamei, perlu adanya pengetahuan tentang sifat udang vannamei, menurut Haliman, R.W dan Adijayam D.S (2005), beberapa tingkah laku udang vannamei yang perlu kita ketahui antara lain :
a. Aktif pada kondisi gelap (sifat noktunal)
b. Dapat hidup pada kisaran salinitas lebar (euryhaline)
c. Suka memangsa sesama jenis (sifat kanibal)
d. Tipe pemakan lambat, tapi terus-menerus (continuo feeder)
e. Menyukai hidup di dasar (bentik)
f. Mencari makanan lewat organ sensor (chemoreceptor)

2.2 Sarana Pokok dan Penunjang Hatchery
2.2.1 Sarana Pokok
2.2.1.1 Bak pemeliharaan larva
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) bak pemliharaan adalah bak unuk pemliharan larva. Untuk membangunnya perlu diperhatikan bentuk dan ukurannya.
a. Bentuk
Larva udang tidak memerlukan bentuk bak yang spesifik. Bak dapat berbentuk segi empat, bulat, atau oval. Yang penting sesuai dengan biaya yang tersedia dan agar bentuk pekarangan tetap indah
Bak larva sudut-sudutnya tidak mati, agar sisa-sisa metabolisme, sisa-sisa makanan, larva yang mati, dan kotoran lainnya tidak terkumpul pada bagian ini. Dasar bak memiliki kemiringan 2% kearah pembuangan,agar mudah dikeringkan dan dibersikan. Sedang dinding harus licin, agar kotoran, jamur atau parasit tidak menempel serta mudah dibersihkan.
b. Ukuran
Baik bak yang berukuran besar maupun yang kecil keduanya sama baiknya. Karena keduanya dapat digunakan untuk menghasilkan postlarva (PL) jual. Namun, dari kedua ukuran itu ada keuntungan dan kerugiannya. Bak besa akan menciptakan kondisi air media yang stabil seperti suhu dan salinitasnya, tetapi sering mendapat serangan penyakit.
Dengan demikian ukuran yang ideal adalah yang kapasitasnya 10-20 ton; tingginya 1,2-1,5 m; panjang dan lebarnya masing-masing 4 m dan 2,5 m.
2.2.1.2 Bak kultur pakan alami
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) bak kultur pakan alami dapat dibuat dari kayu yang dilapisi plastik atau semen. Ukuran bak yang baik 10% dari ukuran kapasitas bak pemeliharaan, yaitu panjangnya 2 m; lebar 2 m; tinggi 0,6 m. Bak sebesar itu sudah cukup untuk memenuhi satu siklus pemeliharaan pada bak pemeliharaan yang berkapasitas 10 ton.
2.2.1.3 Instalasi Sistem Aerasi
Oksigen terlarut (DO) merupakan faktor pembatas bagi sebagian besar organisme aquatik, menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) bahwa oksigen yang terlarut saling berkaitan dengan parameter-parameter kualitas air lainya, oleh karena itu kandungan okigen harus stabil. Untuk menjaga kestabilan oksigen terlarut di air media, maka perlu alat yang menyuplai oksigen. Kalau hanya mengandalkan difusi dan fotosintesis Skletonema costotum akan kurang mencukupi. Alat yang biasa di digunakan adaah blower yang dilengkapi dengan slang, batu aerasi, dan kran pengatur udara.
2.2.1.4 Tenaga Listrik
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) tanpa energi listrik, kegiatan operasional tidak dapat berjalan sesui rencana. Energi listrik digunakan sebagai penggerak blower, pompa celup, dan penerangan karenanya tenaga listrik disalur selama 24 jam. Sumber energi listrik diperoleh dari mesin genset atau PLN. Namun yang baik didatangkan dari PLN bila ditinjau dari tegangannya maupun kebersihannya. Jika digunakan genset akan muncul asap sisa pembakaran dan tumpahan solar yang akan mengganggu kehidupan larva.
2.4.1.5 Sarana Pengadaan Air Laut
1. Pompa air
Pompa air digunakan untuk pengambilan air baik untuk pengambilan air laut maupun untuk mengalirkan air dari bak penampungan air laut ke bak pengendapan, kemudian dari bak pengendapan ke ruang Ozonisasi yang kemudian dialirkan ke tandon, dan yang terakhir dari tandon ke bak pemeliharaan.
2. Bak penampungan air laut
Bak penampungan ini terdiri dari berbagai bak yang menggunakan sistem gravitasi. Bak yang digunakan diantaranya adalah bak batu, dan bak ijuk, arang, pasir.
3. Bak Pengendapan
Bak ini digunakan untuk mengendapakan partikel yang lolos dari proses filter pressure.

4. Tandon
Bak yang digunakan untuk menampung air setelah dilakukan beberapa threatment, dimana air tersebut dipakai untuk persediaan. Tandon yang ada terdiri dari 2 tandon, hal tersebut dikarenakan agar pergantian air dapat berlangsung setiap hari, karena untuk mengisi penuh 1 tandon dibutuhkan waktu 1 hari.
5. Bak penampungan 1
Air dari hasil budidaya dialirkan ke bak penampungan ini dan selanjutnya diproses oleh protein skimmer.
6. Bak penampungan 2
Bak penampungan ini digunakan untuk menampung air yang telah diproses (BBAP Situbondo, 2006).

2.3.2 Sarana Penunjang
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) yang merupakan sarana penunjang yaitu saringan, termometer, salinometer, pompa celup, ember, wadah penetasan Artemia sp.
2.4 Pemeliharaan Larva Udang Vannamei
Pada pembenihan udang, pemeliharaan larva merupakan aspek terpenting dalam pengoperasian sebuah hatchery. Kegiatan pemeliharaan larva dimulai dari stadium nauplius hingga mencapai stadium post larva (PL) yang dikenal sebagai benih udang atau benur yang sudah menyerupai udang dewasa. Termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan seperti persiapan bak pemeliharaan, penebaran nauplius, penyediaan dan pemberian pakan, pengelolaan kualitas air, pengendalian penyakit dan proses pemanenan (Heryadi D dan Sutadi 1993).

2.4.1 Persiapan Bak
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) persiapan bak meliputi :
a. Sanitsi Bak
Bak pemeliharaan yang akan digunakan harus disucihamakan sehingga bebas dari penyakit. Caranya, bak dikeringkan (dijemur), kemudian dasar dan dinding bak disikat. Agar lebih steril gunakan zat-zat kimia seperti klorin dengan dosis 100 ppm, KMnO4 (kalium permanganat) 10 ppm, dan formalin 50 ppm.

b. Perlakuan air media
Air media, umumnya dibeli pada penjual khusus yang menyediakan jasa penyaluran air laut. Air laut yang dibutuhkan adalah air yang berkadar garam 29-31 permil, dan bebas bahan pencemar.

1) Sterilisasi tahap I
Sebelum dipakai, air laut diberi perlakuan dengan menggunakan zat-zat kimia agar bebas dari bakteri, protozoa, jamur, dan mikroorganisme lainnya. Setelah air laut ditampung dalam bak ditambahkan kaporit 30 ppm (30 g/m3 air).
Setelah itu tambahkan natrium tiosulfat sebanyak 10-12,5 ppm, kemudian biarkan proses tersebut berlangsung selama 24 jam sambil tetap diaerasi.
Apabila air laut sudah netral kembali, tambahkan EDTA sebanyak 10 ppm (10g/m3), dibiarkan selama 24 jam sambil diaerasi. Langkah berikutnya menyimpan endapan sampai air jernih dan steril. Cara lain yang dapat ditempuh yaitu dengan memindahkan air yang sudah jernih tersebut ke bak lain dengan menggunakan pompa celup.



2) Sterilisasi tahap II
Sterilasasi air laut tahap kedua dilakukan pada saat air sudah dalam kondisi jernih dan dilakukan 2-3 hari sebelum larva ditebar. Pada tahap ini masih digunakan EDTA sebanyak 8 ppm yang dimasukan ke air media. Setelah itu ditambah antibiotic, misalnya Erytromycyn sebanyak 1 ppm (1g/m3). Antibiotik berfungsi untuk menghilangkan bakteri dan protozoa, sedangkan untuk menghilangkan jamur dapat ditambahkan Trefflan sebanyak 0,1 ppm (0,1ml/m3). Dengan demikian zat kimia tersebut diberikan dalam waktu yang sama dengan urutan, EDTA, antibiotik, dan trefflan.

c. Perlakuan terhadap organisme
Walaupun bak dan air media sudah bebas panyakit, justru organisme yang ditebar yang membawa penyakit. Karenanya, organisme yang akan dipelihara sebaiknya diberi perlakuan dahulu sebelum ditebar.
Apabila usahanya dimuai dari telur, maka telur diberi perlakuan dengan meggunakan bahan kimia di antaranya Methelen Blue 1 ppm selama 10 menit atau KMNO4 dengan dosis 3 ppm selama 30 menit. Jika usahanya mulai dari nauplius, maka perlu direndam dengan larutan Trefflan 0,1-0,2 ppm agar nauplius bebas jamur.

d. Memeriksa Aerasi
Sehari sebelum penebaran, aerasi perlu di cek apakah penyebaran gelembung dari batu aerasi sudah rata. Untuk mengetahuinya, hidupkan blower lalu kran udara dibuka. Bila gelembung udara yang dihasikan sama rata berarti aerasinya baik. Aerasi ini juga meningkatkan kandungan oksigen sehingga gas-gas beracun akan menguap keluar.

1.4.2 Penyediaan Telur
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) cara untuk mendapatkan telur udang penaeid :
a. Menyewa Induk
Menyewa induk udang di Jawa Timur sudah lazim dilakukan oleh para pembenih. Harga sewa induk sepasang sekitar Rp 25.000,00. Sistem ini cukup menguntungkan pihak penyewa dan yang menyewa.
Bagi penyewa dengan mengeluarkan biaya sewa masih biasa memperoleh keuntungan, karena sekali berelur bias sebanyak 600.000-700.000 butir/induk. Daya tetas telur (hatching rate) ditingkat pembenihan antara 70-80%
b. Membeli Telur
Membeli telur udang memang menjanjikan keuntungannya dari pada membeli nauplius karena harganya lebih murah. Namun resikonya juga lebih besar, karena daya tetas telur dan kesehatan induknya belum diketahui.

1.4.3 Penebaran Nauplius
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993) sebelum naupli ditebar ke dalam bak perlu diperhatikan salinitas, kondisi naupli, dan suhu air media. Ciri naupli yang sehat, gerakannya sangat aktif terutama jika kena sinar. Dan bila terjadi perbedaan suhu dan salinitas, maka dilakukan proses penyesuaian yang dikenal dengan proses aklimatisasi.
Aklimatisasi salinitas dilakukan dengan cara, air media yang di dalam bak dialirkan ke dalam baskom yang berisi naupli dengan menggunakan dengan menggunakan slang plastik yang berdiameter kecil, sehingga aliran airnya hanya sebesar benag jahit.
Untuk penurunan kadar garam sebesar 1 permil diperlukan waktu antara 15-30 menit. Apabila salinitas antara air media pada bak pemeliharaan sudah sama dengan air media pada baskom naupli, maka proses akilmatisasi salinitas dianggap selesai.
Setelah aklimatisasi selesai naupli ditebarkan ke dalam bak pemeliharaan dengan menjungkirkan baskom yang berisi naupli perlahan-lahan. Padat tebar nauplii yang aman berkisar 100-150 ekor/L.

2.4.4 Penyediaan Pakan
Jenis pakan yang diberikan pada larva udang vannamei selama proses pemeliharaan yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami yang biasa diberian pada larva uadang vannamei yaitu Skeletonema costatum dan Artemia sp. Pakan alami ini sangat dibutuhkan pada stadium akhir napulius (N-6) atau awal stadium zoea. Sedangkan pakan buatan mulai diperlukan ketika larva memasuki stadium zoea. Pakan buatan ini ada yang dijual dalam bentuk kalengan maupun bungkusan.
Dosis pakan yang diberikan pada larva tidak dihitung berdasarkan jumlah populasi larva, tetapi diukur dengan satuan ppm, sebab larva membutuhkan pakan yang tersedia setiap saat. Yang dimaksud dengan ppm adalah gram/ton volume air media yang jika pakan berbentuk tepung, sedangkan yang cair ml/ton. Dosis terebut hanya untuk pakan buatan, sedangkan untuk dosis pakan alami yaitu sel/cc/hari atau individu /ekor larva/hari.
Pemberian pakan dilakukan setiap 4-6 kali/hari dengan selang waktu 4-5 jam. Larva suka makan pada malam hari maka pemberian pakan pada malam hari lebih baik dari pada siang hari, yaitu pukul 05.00, 10.00, 15.00, 20.00 dan pukul 24.00.
Pemberian pakan dilakukan dengan cara dimasukkan kedalam saringan yang kemudian dimaukkan ke dalam ember yang berisi air tawar. Setelah itu saringn diremas-remas sampai pakan yang ada dalam saringan habis, kemudian ditambahkan pakan alami. Pakan yang berada dalam ember yang berisi air tadi langsung ditebar ke dalam bak pemeliharan (Heryadi D dan Sutadi, 1993)

2.4.5 Pengelolaan Kualitas Air
Menurut Elovaara, A.K (2001) temperatur air untuk optimalkan pertumbuhan dan transisi dari satu larva ke larva berikutnya adalah 280C, sedangkan salinitas adalah 26-30 dan pH sekitar 8,0, namun pH 7,8 sampai 8,4 sudah cukup.
Menurut Heryadi, D dan Sutadi (1993), dalam pengelolaan kualitas air ada beberapa perlakuan agar air media tetap sesuai untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva, diantaranya :
1. Penyimponan
Penyimponan dilakukan agar sisa-sisa pakan buatan maupun sisa-sisa metabolisme larva dapat dikeluarkan sehingga tidak terjadi penumpukan dan pembusukandalam air media.
Penyimponan dapat dilakukan setelah larva mencapai stadium mysis, frekuensinya 2 hari sekali, waktunyasetelah 2 jam pemberian pakan. Cara menyimpon adalah sebagai berikut :
• Blower dimatikan,setelah itu slang yang akan digunakan utuk menyedot air diisi air penuh dan dipasang saringan pada salah satu ujungnya.
• Kemudian slang dimasukkan kedalam bak dan ujungnya yang dilepas tutupnya sehingga air keluar dengan sendirinya.

2. Pengaturan cahaya
Untuk stadium naupli dan zoea, keduaya bersifat plangtonis yang aktif berenang di permukaan air. Bagi kedua stadium ini diusahakan agar suasana bak pemeliharaan gelap dengan cara menutup bak. Apabila larva sudah masuk stadium post larva, bak pemeliharaan lebih sering dibuka dalam upaya penyesuaian lingkungan.
Parameter kualitas air untuk budidaya udang vannamei dapat dilihat dari Tabel 1, berikut :
Tabel 1. Parameter kualitas air untuk budidaya udang vannamei
Parameter Kualitas Air Batasan yang dianjurkan
DO 5,0 – 9,0
Karbondioksida ≥ 20 ppm
pH 7,0 – 8,3
Salinitas 0,5 – 35 ppt
Clorda ≥ 300 ppm
Sodium ≥ 200 ppm
Total Hardness (as CaCO3) ≥ 150 ppm
Calcium Hardness (as CaCO3) ≥ 100 ppm
Magnesium Hardness (as CaCO3) ≥ 50 ppm
Total Alkalinitas (as CaCO3) ≥ 100 ppm
Uninoized Ammonia (NH3) ≤ 0,03 ppm
Nitrit (NO2) ≤ 1 ppm
Nirat( NO3) ≤ 60 ppm
Hidrogen Sulfida (H2S) ≤ 2 ppb
Klorin ≤ 10 ppb
Kadmium ≤ 10 ppb
Kromium ≤ 100 ppb
Kopper ≤ 25 ppb
Lead ≤ 100 ppb
Merkuri ≤ 0,1ppb
Zinc ≤ 100 ppb
Suhu 28 – 32 0 C
Total Iron ≤ 1,0 ppm
Sumber : Elovaara, A.K (2001)
Menurut Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) selain pengukuran parameter-parameter tersebut dilakukan pergantian dan penambahan air secara sirkulasi dengan cara melihat air secara visual, bila dipermukaan air telah banyak mengandung gelembung-gelembung busa yang telah menumpuk dan gelembung tersebut tidak dapat pecah kembali ini diasumsikan air pada kondisi jenuh dan telah terjadi banyak perombakan-perombakan gas di dalam air. Pengisian air pada awal penebaran naupli adalah sekitar 30% dari kapasitas wadah, saat stadia zoea ditambah sampai 70%, stadia mysis 80% dan stadia post larva 100%.
Menurut Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008), Pergantian air dilakukan setelah mencapai stadia mysis 3 sampai PL 5 berkisar 10-30% dan PL 5 sampai dengan panen 30-50% dari volume wadah yang terisi.

2.4.6 Penerapan Bioscurity
Menurut Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008), tindakan pencegahan penyakit dilakukan dengan penerapan biosecurity dengan menggunakan PK (Kalium Permanganat) sebanyak ±1,5 ppm yang ditempatkan pada awal pintu masuk sebelum memasuki dan akan memasuki ruangan.

2.4.7 Pengendalian Penyakit
Menurut Ghufron M.H Kordik K (2006) penyakit adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan pada fungsi atau struktur dari alat-alat tubuh atau sebagian alat tubuh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada dasarnya penyakit yang menyerang udang datangnya melalui tiga faktor yaitu kondisi lingkungan (kualtas air), kondisi inang (Udang) dan jasad organisme/penyakit.
Udang vannamei juga bukan spesies yang tahan terhadap berbagai macam penyakit, oleh karena itu perlu penerapan sitem budidaya terbaik agar kualitas udang yang dihasilkan lebih baik. Sedangkan menurut Elovaara, A.K (2001) penyakit yang menyerang udang vannamei yaitu infectious hypodemal and hematopoietic necrosis virus (IHHNV), Reo-like virus (REO), and Taura Syndrome virus (TSV ).
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2005), gejala klinis penyakit udang yaitu : bercak putih oleh virus, kematangan cepat 2-3 hari, berenang ke dekat pematang kemudian mati, kepala kuning oleh virus YHV, kerusakan organ limfoid dan insang, serangan MBV mengakibatkan kerdil, penyakit bercak putih dicirikan dengan bagian kepala berukuran kecil.

2.5 Pemanenan
Pemanenan benur dilakukan mulai pada stadia PL10 atau ukuran PL telah mencapai 1 cm dan yang telah memenuhi kriteria-kriteria benur yang siap dipanen. Caranya adalah membuka saluran pembuangan yang telah diberi saringan di dalamnya agar air yang keluar tidak deras dan benur tidak ikut keluar. Sebelum hal tersebut dilakukan terlebih dahulu mengurangi ketinggian air hingga 6-10 cm sehingga benur mudah ditangkap dengan menggunakan serok. Setelah ketinggian air mencapai 5 cm hentikan penyerokan dan buka saringan, sehinga sisa benur akan keluar bersama air tersebut. Langkah berikutnya adaptasi salinitas, penghitungan, dan pengemasan (Heryadi D dan Sutadi 1993).

2.6 Pengangkutan
Menurut Heryadi D dan Sutadi (1993) pengangkutan benur ummnya dilakukan dengan cara tertutup dan terbuka. Pengangkutan cara tertutup disenangi karena pengirimannya dapat dilakukan dengan menggunakan bus, kereta api, pesawat udara, dan kendaraan lainnya. Cara ini membutuhkan es, kantong pastik, tabung oksigen dan kardus Styrofoam.
Kunci keberhasilan dalam pengangkutan cara tertutup adalah suhu dan kepadatan. Dalam pengangkutan diusahakan agar suhu tetap rendah, oleh karena itu setelah plastik diikat, maka bagian luarnya digantungkan plastik berisi es. Untuk daerah tropis suhu yang dianggap aman adalah 18-20 0 C.
Kepadatan yang aman dalam pengankutan cara tertutup yaitu 4.000-6.000 ekor /kantong. Setiap kantong diisi dengan 4 liter air dengan perbandingan oksigen dan air 5:1. Pengangkutan dengan cara ini akan aman jika lama perjalanan maksimum 6 jam.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pemeliharaan Larva
5.1.1. Persiapan Bak
Bak yang digunakan untuk pemeliharaan larva udang vannamei di IPU Gelung BBAP Situbondo ini berbentuk bulat dan berkapasitas 10 ton serta memiliki kemiringan 3% ke arah pembuangan. Sebelum digunakan sebagai tempat pemeliharaan larva, bak terlebih dahulu harus dibersihkan dari kotoran yang menempel pada bak tersebut. Bak dibersihkan dengan cara dicuci menggunakan deterjen, seluruh permukaan dinding dan dasar bak digosok dengan menggunakan spon untuk menghilangkan kotoran yang menempel di bak, kemudian dibilas dengan air tawar sampai bersih setelah itu siram dengan larutan kaporit 60% sebanyak 100 ppm ke seluruh permukaan bak yang berfungsi untuk membersihkan bak dari penyakit yang masih tersisa di bak pemeliharaan sebelumnya dan biarkan hingga kering. Apabila bak akan digunaan, maka bak dan perlengkapan lainnya dicuci kembali dengan diterejen.
Setelah persiapan selesai, maka bak sudah siap digunakan untuk pemeliharaan larva. Setelah itu bak diisi air laut sebanyak 5 ton atau separuh dari kapasitas bak dengan menggunakan filter ukuran 10µ. Tahapan selanjutnya air pada bak di treatmen menggunakan larutan trevlan sebanyak 0,25 ppm yang berfungsi untuk membunuh penyakit yang menempel pada tubuh larva, kemudian aerasi dinyalakan dan disterilisasi selama 1-2 hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Heryadi, D dan Sutadi (1993) yang menyatakan bahwa sebelum dipakai, air laut diberi perlakuan dengan menggunakan zat-zat kimia agar bebas dari bakteri, protozoa, jamur, dan mikroorganisme lainnya. Setelah air laut ditampung dalam bak ditambahkan kaporit 30 ppm (30 g/m3 air).

5.1.2. Penebaran Naupli
Naupli yang akan ditebar adalah naupli yang berasal dari hatchery BBAP Situbondo desa Pecaron. Penebaran naupli dilakukan pada malam hari, hal ini dilakukan dengan harapan untuk menghindari fluktuasi suhu yang terlalu tinggi terhadap lingkungan. Naupli yang sudah dihitung kemudian diseser dengan menggunakan saringan, ditempatkan terlebih dahulu kedalam ember kecil yang sudah diberi air laut kemudian naupli dibilas menggunakan formalin sebanyak 1 ml yang bertujuan untuk menghilangkan jamur dan bakteri yang terdapat pada naupli.
Sebelum naupli ditebar kedalam bak pemeliharaan larva perlu dilakukan aklimatisasi suhu dan salinitas, hal ini bertujuan agar naupli yang ditebar tidak mengalami stress. Aklimatisasi dilakukan dengan cara meletakkan ember yang berisi naupli di atas permukaan air pada bak pemeliharaan larva, kemudian bak tersebut dialiri air sampai penuh dengan menggunakan slang kecil dan biarkan naupli keluar dengan sendirinya dari baskom supaya tidak stress, hal ini sesuai dengan pendapat Heryadi, D dan Sutadi (1993), yang menjelaskan bahwa aklimatisasi salinitas dilakukan dengan cara, air media yang di dalam bak dialirkan ke dalam baskom yang berisi naupli dengan menggunakan slang plastik yang berdiameter kecil, sehingga aliran airnya hanya sebesar benang jahit.
Proses aklimatisasi selesai ditandai dengan mengumpulnya naupli kepermukaan air dalam bak pemeliharaan. Setelah penebaran dilakukan, bak pemeliharaan ditutup dengan plastik transparan tembus cahaya agar suhu tetap stabil. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5, dan Gambar 6 serta padat penebarannya dapat dilihat pada Tabel 2 :













Tabel 2: Padat Penebaran Naupli


Bak Populasi
( ekor ) Volume Air
( ton ) Padat Penebaran
( ekor/liter )
A1 1.500.000 10 150
A2 1.500.000 10 150
A3 1.500.000 10 150
A4 1.500.000 10 150
Sumber: IPU Glung BBAP Situbondo (2009)

Dari proses aklimatisasai yang dilakukan maka naupli tidak mengalami stress pada saat ditebar. Sedangkan dari tabel diatas diketahui bahwa rata-rata kepadatan penebaran naupli adalah 150 ekor/liter, hal ini sesuai dengan pendapat Heryadi, D dan Sutadi (1993) bahwa padat tebar nauplii yang aman berkisar 100-150 ekor/L.

5.2. Pengelolaan dan Pengamatan Kualitas Air
Pengelolaan kualitas air pada saat masa pemeliharaan larva udang vannamei di IPU Gelung BBAP Situbondo dilakukan dengan cara pengukuran kualitas air dan pergantian air (water exchange). Hal ini sesuai dengan pendapat Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) yang menyatakan bahwa selain pengukuran parameter-parameter tersebut dilakukan pergantian dan penambahan air secara sirkulasi dengan cara melihat air secara visual, bila dipermukaan air telah banyak mengandung gelembung-gelembung busa yang telah menumpuk dan gelembung tersebut tidak dapat pecah kembali ini diasumsikan air pada kondisi jenuh dan telah terjadi banyak perombakan-perombakan gas di dalam air.
Pengelolaan kualitas air dimaksudkan untuk meningkatkan atau menjaga kualitas air supaya tetap dalam keadaan yang sesuai bagi pertumbuhan udang. Pergantian air ini dilakukan pada saat memasuki stadia mysis 3 berkisar 10-30%, hal ini sesuai dengan pendapat Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) yang menyatakan bahwa pergantian air dilakukan setelah mencapai stadia mysis 3 sampai PL 5 berkisar 10-30% dan PL 5 sampai dengan panen 30-50% dari volume wadah yang terisi. Hal ini dilakukan berdasarkan pengamatan jika warna air sudah tampak keruh dan banyak terdapat busa. Pergantian air ini dimaksudkan untuk mengurangi kandungan bahan organik sehingga tidak menimbulkan penyakit pada larva. Pergantian air ini dilakukan dengan cara mengurangi volume air sedikit demi sedikit melalui pipa pembuangan.
Selain itu dilakukan monitoring kualitas air yang dilakukan setiap hari yaitu pada pagi hari, parameter air yang dilakukan secara rutin adalah sebagai berikut :

a. Suhu
Suhu merupakan salah satu parameter fisika pada kualitas air. Pengukuran suhu pada bak larva ini dilakukan dengan alat termometer yang telah terpasang pada tali diantara aerasi. Pengukuran suhu air dilakukan setiap hari pada waktu pagi secara rutin dengan tujuan agar selama pemeliharaan larva proses metabolisme dan metamorfosis larva lancar. Suhu pada pemeliharaan larva berada pada kisaran 30°C – 33°C. Suhu pada kisaran ini merupakan suhu yang cukup optimal bagi pertumbuhan larva udang vannamei. Hal ini sesuai dengan pendapat Haliman dan Adijaya (2003), suhu optimal pertumbuhan udang antara 26-32°C. Suhu berpengaruh langsung pada metabolisme udang, pada suhu tinggi metabolisme udang dipacu, sedangkan pada suhu yang lebih rendah proses metabolisme diperlambat. Bila keadaan seperti ini berlangsung lama, maka akan mengganggu kesehatan udang karena secara tidak langsung suhu air yang tinggi menyebabkan oksigen dalam air menguap, akibatnya larva udang akan kekurangan oksigen. Dalam pemeliharaan larva, suhu air dipertahankan dengan cara menutup bak dengan menggunakan plastik agar suhu air dapat terjaga pada kondisi yang sesuai bagi pertumbuhan udang.

b. Derajat Keasaman (pH / potential of hydrogen)
Pengukuran pH di IPU Gelung Balai Budidaya Air Payau Situbondo ini menggunakan alat pH meter. Pengukuran ini dilakukan dengan cara mengambil sampel pada bak larva dan diukur di laboratorium. Pengukuran pH ini dilakukan pada waktu pergantian stadia saat pergantian air karena kondisi bak yang berada dalam ruangan (hatchery), pH pada bak larva cenderung stabil yaitu berada pada kisaran 8,0 ─ 8,5. Hal ini sesuai dengan pendapat Elovaraa, A.K (2001) yang menyatakan bahwa pH untuk budidaya udang vannamei adalah sekitar 7,0 ─ 8,5. Nilai pH yang stabil dikarenakan kondisi bak larva berada dalam ruangan tertutup (hatchery) hal ini bertujuan agar udang dapat tumbuh dengan cepat. Selain itu dengan pH yang stabil daharapkan nafsu makan udang tetap tinggi. Apabila nilai pH tidak terjaga dengan baik maka secara tidak langsung akan mengakibatkan penurunan kualitas air. Hal ini juga berpengaruh pada aktifitas udang yang menyebabkan menurunnya tingkat pertumbuhan dan terganggunya metabolisme udang secara perlahan akan menggangu kesehatan udang.

c. Salinitas
Pengukuran salinitas ini dilakukan pada pagi hari saat pergantian air dengan menggunakan refraktometer. Hal ini bertujuan agar salinitas air yang baru tidak telalu jauh dengan salinitas air yang lama. Salinitas yang terdapat pada bak larva cenderung stabil pada kisaran 30 – 34 ppt. Kestabilan salinitas ini diharapkan udang dapat tumbuh dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Elovaraa, A.K (2001) menyatakan bahwa salinitas berada pada kisaran 0,5 – 35 ppt. Hal ini mengakibatkan energi lebih banyak terserap untuk proses osmoregulasi dibandingkan untuk pertumbuhan.

d. Alkalinitas
Pengujian alkalinitas (CaCO3) ini dilakukan pada waktu pergantian stadia saat pergantian air secara titrimetri. alkalinitas berada pada kisaran 100-120 ppm. Pada kisaran ini kandungan alkalinitas yang terdapat pada bak pemeliharaan masih dalam keadaan normal. Hal ini sesuai dengan pendapat Elovaraa, A.K (2001) bahwa alkalinitas yang optimal bagi udang vannamei adalah lebih besar dari pada 100 ppm. Selain itu dua fungsi penting alkalinitas, yaitu sebagai sumber karbon untuk fotosintesis dan sebagai sistem penyangga (buffer) perubahan pH. Alkalinitas ini jika terlalu tinggi akan menyebabkan udang mengalami kekerasan kulit sehingga dalam pertumbuhannya sulit dan jika melakukan moulting akan berlangsung lama sehingga udang akan menguras tenaga lebih banyak.

e. Bahan Organik (BO)
Bahan organik merupakan salah satu parameter kimia pada kualitas air yang perlu diuji. Penggunaan pakan pada pemeliharaan larva secara berlebihan dan hasil ekskresi merupakan beberapa penyebab bahan organik pada bak pemeliharaan meningkat. Pelaksanaan pengujian BO dilakukan setiap pergantian stadia pada saat pergantian air secara titrimetri. Nilai kandungan BO pada bak pemeliharaan berada pada kisaran 70 ─ 110 ppm. Pada kisaran ini kandungan BO pada bak larva masih dalam keadaan aman. Pergantian air merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi kandungan bahan organik yang terdapat dalam bak pemeliharaan. Hal ini dilakukan agar kandungan bahan organik tidak berubah menjadi senyawa beracun yang dapat mengakibatkan larva terserang penyakit.
Selama pemeliharaan larva pemantauan kualitas air merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam pemeliharaan larva. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar grafik parameter kualitas air (Lampiran 4).

5.3. Pengelolaan Pakan
Pemberian pakan ini dilakukan untuk memacu pertumbuhan larva udang vannamei, adapun jenis pakan yang diberikan yaitu :
5.3.1. Pakan alami
Jenis pakan alami yang diberikan pada larva udang vannamei di IPU Gelung BBAP Situbondo yaitu Chaetoceros dan Artemia sp. Pemberian pakan alami fitoplankton Chaetoceros diberikan mulai stadia zoea 1 yaitu dimana larva
sudah mulai kehabisan persediaan kuning telur ( egg yolk ) dan diberikan sampai stadia PL 3. Hal ini sesuai dengan pendapat Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) yang menyatakan bahwa pemberian Chaetoceros sp dilakukan mulai dari stadia zoea 1 – mysis 3, sedangkan pada stadia naupli belum diberikan pakan dikarenakan pada stadia ini larva udang putih vannamei masih memanfaatkan kuning telur sebagai pensuplai makanan. Pemberian Chaetoceros sp bertujuan untuk meningkatkan anti body yang sangat dibutuhkan oleh larva udang vannamei terutama pada fase-fase transisi seperti dari stadia naupli ke stadia zoea, yang mana pada fase ini sering dikenal dengan istilah zoea syndrome atau zoea lemah, yaitu larva kelihatan lemah dan tubuh kotor yang dapat menyebabkan mortalitas hingga 90%. Selain itu, Chaetoceros sp mampu menekan laju pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi selama proses pemeliharaan larva. Kultur Chaetoceros dilakukan dengan 3 cara, yaitu skala laboraturium, skala semi massal (Intermediate) dan skala Massal. Pemberiannya dilakukan dengan cara memompa Chaetocerosla langsung ke bak pemeliharaan dengan slang.
Artemia salina merupakan pakan alami jenis zooplankton yang diberikan pada larva udang mulai dari stadia larva mysis 3 – post larva. Pemberian nauplius artemia dikarenakan banyak mengandung nilai nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh larva udang seiring dengan peningkatan nilai usaha pemeliharaan larva dalam masalah kualitas larva. Di samping itu, nauplius artemia merupakan zooplankton yang bergerak aktif sehingga dapat merangsang dan meningkatkan nafsu makan larva udang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7 berikut :







Sebelum diberikan, dilakukan dekapsulasi pada cyste artemia menggunakan bahan kimia yaitu klorin 1000 ml dan soda api 500 ml dengan perbandingan 2 : 1. Klorin dapat melarutkan senyawa lipoprotein pada cangkang telur artemia yang banyak mengandung Heamatin yang dapat mempercepat pengikisan cangkang artemia, sedangkan soda api berfungsi untuk melunakkan cangkang. Selama proses dekapsulasi diusahakan suhu tidak lebih dari 40ºC karena dapat menyebabkan artemia terbakar dan mati. Setelah proses dekapsulasi selesai artemia ditetaskan dalam conical tank selama 1 × 24 jam dan diberi aerasi. Artemia yang sudah menetas diberikan dengan cara ditebar keseluruh permukaan air dengan menggunakan gayung. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8 dan Tabel 3 berikut :








Tabel 3: Jenis, Dosis dan Waktu Pemberian Pakan Alami
Stadia Jenis Pakan Alami Dosis Waktu
Zoea - PL 3 Chetoceros 500 liter/1,5 juta larva 06:00, 16:00
PL1 – PL7 Artemia 56 g/10ton 06:00, 16:00
Sumber: Data Primer (2009)
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pemberian pakan alami (Chetoceros dan Artemia) dilakukan sebayak 2 kali sehari dengan dosis yang berbeda sesuai dengan stadia dan kepadatan larva.



5.3.2. Pakan Buatan
Pakan buatan yang akan diberikan disaring terlebih dahulu dengan menggunakan saringan. Jenis pakan yang digunakan adalah Nosan R1, Nosan R2, Frippak 1 CAR, Frippak 2CD, Epyfeed LHF-1,Epyfeed LHF-2, dan Riall. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 9:







Pakan yang telah ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam saringan pakan dan diaduk den sampai merata kemudian diberikan dengan cara ditebar menggunakan gayung. Untuk dosis pemberian pakan buatan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4: Jenis, Dosis dan Waktu Pemberian Pakan Buatan
Stadia Jenis Pakan Buatan Dosis ( ppm ) Waktu
Zoea Epyfeed LHF1, Nosan R1, Frippak 1 CAR 0,7-1 04:00, 06:00, 10:00, 13:00, 16:00, 19:00,
22:00, 01:00
Mysis Epyfeed LHF1-2, Nosan R1-R2, Frippak 1 CAR-2CD 1-1,5 04:00, 06:00, 10:00, 13:00, 16:00, 19:00,
22:00, 01:00
PL1 – PL7 Epyfeed LHF 2, Nosan R2, Frippak 2CD, Riall 1,5 – 3 04:00, 06:00, 10:00, 13:00, 16:00, 19:00,
22:00, 01:00
Sumber: Data Primer 2009
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pemberian pakan buatan dimulai dari stadia zoea sampai PL dan dilakukan sebanyak delapan kali sehari dengan dosis yang berbeda pada setiap stadia. Dengan pemberian pakan ini maka larva udang vannamei dapat mengalami pertumbuhan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 3.
Pemberian pakan buatan bersamaan dengan pemberian probiotik sanolife yang mengandung bakteri Bacillus licheniformis, Bacillus Subtilus, Bacillus Pumilus. Pemberian Bacillus ini untuk menguraikan bahan-bahan organik berupa sisa pakan dan kotoran yang berada di media pemeliharan agar tidak menjadi racun. Pemberian probiotik ini diberikan setiap hari pada saat memasuki stadia zoea sampai post larva. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 10 dan untuk dosis dan waktu pemberian dapat dilihat pada Tabel 5:







Tabel 5: Dosis dan Waktu Pemberian Probiotik
Stadia Dosis (ppm) Waktu
Zoea 1 10:00
Mysis 1,5 10:00
PL1 – PL5 2 10:00

Sumber: Data Primer (2009)
Dari tabel di atas dapat diketahi bawha pemberian probiotik mulai diberikan pada stadia zoea sampai PL dan dilakukan satu kali sehari dengan dosis yang disesuaikan pada setiap stadia larva.

5.4. Pengamatan Pertumbuhan
Pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap hari dengan cara mengambil sampel langsung dari bak pemeliharaan dengan menggunakan beaker glass, kemudian diarahkan ke cahaya untuk melihat kondisi tubuh larva. hal ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan larva, gerakan, dan sisa pakan. Sedangkan pengamatan mikroskopis dengan cara mengambil beberapa ekor larva dan dilakukan pengamatan menggunakan alat mikroskop, pengamatan ini dilakukan untuk melihat dan mengamati morfologi tubuh larva, keadaan parasit, pathogen yang menyebabkan larva terserang penyakit. Dengan mengetahui perkembangan larva maka juga dapat menentukan perubahan stadia, gerakan aktif juga menandakan bahwa larva tersebut baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 11:











Dari hasil pengamatan maka dapat diketahui perkembangan larva dari setiap stadia yaitu:
1). Stadia naupli
Stadia ini memiliki ciri-ciri yaitu badan berbentuk bulat telur, beranggota badan tiga dan masih memiliki cadangan kuning telur hal ini sesuai dengan pendapat Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005), yang menjelaskan bahwa stadia naupli masih memiliki cadangan makanan berupa kuning telur sehingga pada stadia ini larva udang vannamei belum membutuhkan makanan dari luar.
Secara visual stadia naupli terlihat seperti laba-laba kecil dengan gerakan renang tersedat-sedat, lalu berhenti sesaat kemudian melanjutkan renang. Pembagian tubuh atas karapas dan abdomennya belum terlihat jelas dimana naupli 1 badan berbentuk bulat telur dengan tiga pasang anggota tubuh, naupli 2 pada ujung antena pertama terdapat satae yang panjang dan pendek, naupli 3 terdapat dua buah furtcel mulai tampak jelas dengan masing-masing tiga duri, tunas maxillped mulai tampak, naupli 4 masing-masing furtcel mulai tampak jelas terdapat empat buah duri, antena kedua beruas-ruas, naupli 5 tonjolan pada maxilliped suah mulai jelas, naupli 6 perkembangan satae semakin sempurnadan duri pada fortcel tumbuh makin panjang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 12 berikut :










2). Stadia zoea
Stadia naupli akan berubah menjadi stadia zoea setelah ditebar pada bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam. Pada stadia ini zoea akan mengalami ganti kulit (moulting) hal ini sesuai dengan pendapat Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005), yang menjelaskan bahwa pada stadia ini benih udang mengalami moulting sebanyak 3 kali, yaitu stadia zoea 1, zoea 2, zoea 3. Lama waktu proses pergantian kulit sebelum memasuki stadia berikutnya sekitar 4-5 hari. Secara visual stadia ini memiliki ciri yang khas, yaitu terlihat adanya kotoran yang enempel pada ekor dan berenang maju. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 13 dan untuk perkembangannya dapat dilihat pada Tabel 6:











Tabel 6: Ciri-ciri stadia zoea pada udang vannamei (Litopenaeus vannamei)

Stadia Ciri-ciri yang menonjol
Zoea 1 Badan pipih dan karapas mulai nyata, mata mulai tampak, alat pencernaan makanan mulai jelas.
Zoea 2 Mata mulai bertangkai dan pada karapas sudah terlihat rostrum.
Zoea 3 Sepasang uropoda mulai berkembang, ruas-ruas perut mulai tumbuh.
Sumber: Data Primer (2009)


3). Stadia Mysis
Pada stadia ini larva sudah hampir menyerupai bentuk udang yang bercirikan sudah terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Ukuran larva berkisar antara 3 – 4,5 mm. Pada stadia ini berlangsung selama 3-4 hari dimulai dari stadia mysis 1-3 sebelum memasuki stadia post larva (PL), gerakannya mundur kebelakang. Hal ini sesuai dengan pendapat Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada stadia ini, benih sudah menyerupai bentuk udang yang dicirikan dengan sudah terlihat ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson). Benih pada stadia ini sudah mampu menyantap pakan fitoplankton dan zooplankton. Ukuran larva sudah berkisar 3,50 - 4,80 mm. Stadia ini memiliki 3 substadia, yaitu mysis 1, mysis 2, mysis 3 yang berlangsung selama 3 - 4 hari sebelum masuk pada stadia post larva. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Gambar 14 dan pada Tabel 7 berikut :


















Tabel 7: Ciri-ciri stadia mysis pada udang vannamei (Litopenaeus
vannamei)

Stadia Ciri-ciri yang menonjol
Mysis 1 Bentuk badan sudah menyerupai udang dewasa
Mysis 2 Tunas kaki renang (pleopoda) mulai tampak nyata tetapi belum beruas-ruas
Mysis 3 Tunas kaki bertambah panjang dan beruas
Sumber: Data Primer (2009)

4). Stadia Post Larva
Pada stadia ini akan tampak jelas seperti udang dewasa. Larva sudah mulai bergerak aktif lurus ke depan serta mempunyai sifat karnivora dimulai dari post larva (PL 1) sampai dengan panen benur. Hal ini sesuai denan pendapat Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada stadia ini benih udang sudah tampak seperti udang dewasa dan sudah mulai bergerak lurus ke depan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 15 berikut:









Berdasarkan pengamatan pada tingkat kelangsungan hidup larva udang (Survival Rate/SR) larva udang vannamei di IPU Gelung BBAP Situbondo didapatkan data seperti pada Tabel 8 di bawah ini :
Tabel 8. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva
Stadia Bak Volume Bak (Ton) Jumlah Tebar (ekor/bak) Σ Larva Sampling Estimasi
SR (%)

Naupli 1 A1 10 1.500.000 1.500.000 100
A2 10 1.500.000 1.500.000 100
A3 10 1.500.000 1.500.000 100
A4 10 1.500.000 1.500.000 100
Zoea 2 A1 10 1.500.000 1.425.000 95
A2 10 1.500.000 1.350.000 90
A3 10 1.500.000 1.395.000 93
A4 10 1.500.000 1.350.000 90
Mysis 1 A1 10 1.500.000 1.320.000 88
A2 10 1.500.000 1.275.000 85
A3 10 1.500.000 1.200.000 80
A4 10 1.500.000 1.290.000 86
PL 4 A1 10 1.500.000 1.125.000 75
A2 10 1.500.000 1.050.006 70
A3 10 1.500.000 1.095.000 73
A4 10 1.500.000 1.125.000 75
Sumber : Data Primer (2009)
Dari table di atas diketahui bahwa kepadatan larva pada setiap bak mengalami penurunan hal ini terjadi akibat adanya mortalitas pada larva.

5.5. Penerapan Biosecurity
Penerapan biosecurity dalam kegiatan pemeliharaan larva sangat diperlukan untuk mengurangi resiko penyebaran penyakit dari satu tempat ke tempat lain. Tindakan penceghan dengan penerapan bioscurity dilakukan dengan menggunakan PK (Kalium Permanganat) sebanyak 1 ppm yang ditempatkan pada awal pintu masuk ruangan, hal ini sesuai dengan pendapat Subaidah, S dan Pramudjo, S (2008) yang menyatakan bahwa tindakan pencegahan penyakit dilakukan dengan penerapan biosecurity dengan menggunakan PK (Kalium Permanganat) sebanyak ±1,5 ppm yang ditempatkan pada awal pintu masuk sebelum memasuki dan akan memasuki ruangan.
Dengan penerapan biosecurity ini maka diharapkan dapat meminimalisir bibit penyakit yang masuk ke area pembenihan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 16 berikut :






Gambar 16: Biosekuritas pada IPU Gelung BBAP Situbondo
Sumber: Data Primer (2009)

5.6. Pengendalian Penyakit
Pengendalian penyakit pada larva udang vannamei dilakukan dengan prinsip dasar yaitu tindakan pencegahan dan pengobatan. Dengan melakukan pencegahan diharapkan agar larva tidak sampai terserang penyakit yang dapat mengakibatkan mortalitas dan kualitas menurun. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan pemberian probiotik. Stadia yang paling rawan dalam pemeliharaan larva yaitu pada saat memasuki stadia zoea, jenis penyakit yang sering mewabah adalah jenis zoothamnium sp dari golongan protozoa, menyerang ketika stadia mysis-1 dengan gejala gerakan lemah, kebanyakan larva berada di atas permukaan air, namun selama praktek tidak ditemukan adanya penyakit pada larva udang. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Elovaara, A.K (2001) yang menyatakan bahwa penyakit yang menyerang udang vannamei yaitu infectious hypodemal and hematopoietic necrosis virus (IHHNV), Reo-like virus (REO), and Taura Syndrome virus (TSV ). Protozoa disebabkan oleh air media dan peralatan yang kurang steril. Kurang sterilnya peralatan dimungkinkan pencucian menggunakan air tawar yang belum ditrietment terlebih dahulu. Tindakan untuk mengurangi populasi protozoa tersebut dengan melakukan pergantian air dan pemberian obat (treflan) sesuai dengan dosis yang dibutuhkan.

5.7. Panen dan Pengangkutan
5.7.1. Panen
Waktu pemanenan dapat dilakukan kapan saja tergantung keinginan pembeli, pada pemeliharaan larva untuk siklus ini pemanenan dilakukan pada malam hari sekitar pukul 21:00. Pemanenan benur dilakukan dengan mengurangi volume air hingga mencapai 50% dari daya tampung bak melalui pipa goyang atau pipa pengeluaran dan pipa saringan bagian dalam, air yang keluar ditampung dengan menggunakan ember saringa yang berukuran 300µ, kemudian benur diseser dan ditampung dalam baskom bersaring, hal ni sesuai dengan pendapat Heryadi, D dan Sutadi (1993), yang menyatakan bahwa caranya adalah membuka saluran pembuangan yang telah diberi saringan di dalamnya agar air yang keluar tidak deras dan benur tidak ikut keluar.
Setelah benur bekurang, pipa saringan bagian dalam dilepas untuk dipanen secara total. Langkah selanjutnya yaitu disaring kembali dengan saringan rangka besi berukuran 50x70 cm, dan airnya dialirkan melalui saluran pembangan serta ditampung dalam ember bersaring. Setelah dipanen, dilakukan sampling dengan menggunaka takaran yang telah diperitungkan kepadatannya. Setelah proses sampling selesai kemudian benur dikemas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 17 berikut :








Gambar 17: Pemanenan dan Penghitungan Benur
Sumber: Data Primer (2009)
5.7.2. Pengangkutan
Pengankutan yang dilakukan di IPU Gelung BBAP Situbondo adalah pengangkutan cara tertutup, yaitu dengan menggunakan kantong plastik yang ditempatkan dalam sterofom kemudian diberi es untuk menurunkan suhu hal ini sesuai dengan pendapat Heryadi D dan Sutadi (1993), yang menyatakan bahwa pengangkutan benur ummnya dilakukan dengan cara tertutup dan terbuka, pengangkutan cara tertutup disenangi karena pengirimannya dapat dilakukan dengan menggunakan bus, kereta api, pesawat udara, dan kendaraan lainnya. Cara ini membutuhkan es, kantong pastik, tabung oksigen dan kardus Styrofoam.
Tujuan dari penurunan suhu yaitu agar selama dalam perjalanan benur tidak aktif. Pengaruh suhu terhadap benur adalah, jika suhu dari air yang ada dalam kantong meningkat maka akan meningkatkan metabolisme dari benur. Dengan meningkatnya metabolisme dari benur maka sisa metabolisme atau ekskresi akan tinggi. Jika hal ini terjadi dalam kurun waktu yang lama maka akan mangakibatkan terjadinya penurunan kualitas air sehingga dapat mempengaruhi benur yang ada dalam media tersebut.
Kepadatan benur dalam kantong disesuaikan dengan permintaan pembeli dan jarak pengiriman benur. Kepadatan benur untuk jarak dekat (lokal) yaitu 1000 ekor/liter. Kemudian diberi oksigen dan diikat kuat dengan menggunakan karet gelang. Perbandingan antara air dan oksigen adalah 1 : 2, hal ini untuk menjaga ketersediaan oksigen selama pengangkutan. Setelah itu kantong plastik dimasukkan ke dalam kotak sterofoam. Pengiriman dilakukan dengan menggunakan alat transportasi darat yaitu mobil pick up ke daerah Situbondo, Banyuwangi, Jember, Gresik, Tuban, Lamongan, Sumenep, Rembang, Yogyakarta dan Purworejo.
Sedangkan prosedur pengangkutan jarak jauh (luar pulau) perlakuanya sama dengan pengiriman jarak dekat, hanya saja kepadatannya ditingkatkan menjadi 4.000 – 8.000 ekor/kantong dan suhu air yang dipakai sebagai media benur tidak sama. Suhu air untuk sistem pengangkutan benur jarak jauh/luar pulau harus lebih rendah yaitu 27oC. Secara langsung keadaan ini berhubungan dengan proses metabolisme serta reaksi kimia dalam tubuh larva udang yang semakin menurun sehingga menyebabkan larva bergerak pasif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 18 berikut :








Gambar 18 : Proses Packing (Data Primer, 2009)
Pengemasan benur untuk konsumen luar pulau dilakukan dengan menggunakan truk yang dilakukan dengan pesawat terbang. Daerah pemasaran luar pulau adalah wilayah Tarakan dan Kalimantan Timur.